REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua dan Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK) berhasil membuat Panja Mafia Pemilu tercengang. Mahfud MD dan Djanedri akhirnya membeberkan keterlibatan orang dalam MK dalam upaya penggelapan dan pemalsuan surat MK terkait keputusan Pemilu 2009.
Mereka yang terlibat adalah Hakim MK, Arsyad Sanusi dan sang putri, Nesha; dua orang staf Panitera MK, Mashuri Hasan dan Nalong; politisi Partai Hanura, Dewi Yasin Limpo; serta mantan komisioner KPU, Andi Nurpati yang sejak lama dilaporkan Ketua MK ke kepolisian atas dugaan pemalsuan surat. Hal ini dibeberkan Mahfud dan Djanedri dalam rapat konsultasi Panja Mafia Pemilu bersama MK di Gedung DPR RI, Selasa (21/6).
Dalam paparannya, Mahfud menegaskan bahwa kasus penggelapan dan pemalsuan surat MK Nomor 112/PAN.MK/VIII/2009 telah dilaporkannya ke kepolisian pada 12 Februari 2010. "Jadi kewajiban hukum MK untuk melaporkan tindak pidana, namun yang menindaklanjuti laporan MK adalah kewajiban kepolisian," terang Mahfud kepada peserta rapat.
Dijelaskannya, calon legislatif yang bertarung pada Dapil Sulawesi Selatan 1, Dewi Yasin Limpo ditetapkan sebagai anggota dewan berdasarkan SK KPU No. 379/Kpts/KPU/2009 pada 2 September 2009. Keputusan ini merujuk pada surat penjelasan Panitera MK No. 112/PAN.MK/VIII/2009 tertanggal 14 Agustus.
Namun pada 11 September 2009, MK memastikan bahwa surat 112 itu adalah palsu, sedangkan surat Panitera MK yang asli tertanggal 17 Agustus 2009 dengan nomor surat yang sama.
Sementara itu, pada 17 Agustus 2009, MK menyerahkan dua surat sekaligus kepada Andi Nurpati yang saat itu menjabat sebagai komisioner KPU. Selain surat nomor 112 yang asli, MK juga mengirimkan surat bernomor 113/PAN.MK/VIII/2009. "Kedua surat itu diserahkan di Jak TV atas permintaan Andi," ujar Mahfud.
Namun, lanjut Mahfud, Andi menolak menandatangani bukti serah terima saat mengetahui kedua surat itu tidak terdapat stempel MK. Karena tidak distempel, Andi memerintahkan Nalom Kurniawan dan Masyuri Hasan, keduanya staf Panitera MK yang mengantarkan surat kepada Andi di Jak TV.
"Tidak seperti ini suratnya. Kalau tidak mengubah jumlah kursi mengapa dikabulkan," kata Andi saat menolak menandatangani bukti serah terima seperti yang ditirukan Djanedri.
Andi pun kemudian meminta Nalom dan Hasan untuk memberikan surat tersebut untuk diterima supirnya yang juga staf KPU bernama Aryo. Saat itu, Aryo berada di lahan parkir mobil Jak TV. Sekalipun kebingungan, Aryo pun terpaksa menerima dan menandtangani bukti serah terima surat tersebut.
Namun, pada rapat pleno KPU 21 Agustus 2009, ternyata Andi Nurpati hanya menyampaikan surat bernomor 113, sementara surat nomor 112 tertanggal 17 Agustus tidak pernah sampai ke tangan Ketua KPU. Menurut Djanedri, Andi berargumen dirinya tidak menyampaikan surat 112 karena tidak memiliki stempel MK. "Tapi kami yakin surat itu sudah distempel oleh MK, sekalipun Andi kukuh tidak ada stempel," ucap Djanedri.