REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Revisi UU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) disahkan DPR pada sidang paripurna, Selasa (21/6). Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar mengatakan revisi terhadap UU ini didasari pada adanya perbedaan persepsi atau melampaui kewenangan persepsi atas putusan MK.
"MK pernah membuat sendiri norma hukum sebagai satu regulasi menggantikan norma yang pernah dibentuk," katanya saat membacakan hasil revisi UU MK, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (21/6). Ia juga mengatakan MK terkadang bertindak di atas lembaga lain. Contohnya membatalkan pemilihan kepala daerah dengan menentukan sendiri kepala daerahnya sendiri.
Memperhatikan kondisi tersebut, lanjutnya, DPR dan pemerintah menunggu kebijakan legislasi mengubah ketentuan UU sehingga pelaksanaan MK diarahkan kembali dengan menambah, mengubah, dan menghapus beberapa ketentuan untuk mempertegas kewenangan dan fungsinya. Ada tujuh substansi yang berubah terkait UU MK.
Beberapa diantaranya, MK tidak boleh memuat amar putusan kecuali yang dimintakan (ultra petita), kecuali terhadap hal yang tertentu terkait pokok permohonan; kode etik dan perilaku hakim dibentuk majelis hakim konstitusi yang terdiri dari lima unsur yakni pemerintah, DPR, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial; pendidikan hakim konstitusi harus doctor dan magister; masa jabatan hakim konstitusi selama 2 tahun 6 bulan dan dapat dipilih kembali; dan usia pensiun disepakati 70 tahun.
Ia menegaskan dalam UU MK ini tidak ada posisi untuk melemahkan MK. "Justri kita mengembalikan posisi MK sesuai dengan cita-cita lahirnya MK agar MK betul-betul semua putusannya adalah putusan seorang negarawan," katanya.
Perihal ultra petita, ia pun menyatakan jika MK ingin memperluas permohonan yang diajukan masih dibolehkan. Tetapi, sejauh masih berhubungan dan terkait dengan permohonan tersebut. "Tapi kalau yang diputuskan MK di luar permohonan, ini jadi maslaah," katanya.
Patrialis mencontohkan, pengawasan hakim agung yang dilakukan oleh Komisi Yudicial (KY). Pada waktu itu, ada 31 hakim KY yang menyatakan keberatan sehingga perlu diajukan ke MK. Di lembaga itu, diputuskan bahwa pengawasan hakim agung oleh KY itu diserahkan kepada UU. Tetapi, pengawasan KY terhadap hakim agung tidak dibenarkan.
"Artinya, antara permohonan dengan yang diputus jauh, itu gak boleh. Tapi kalau ditafsirkan sesuai dengan tafsir permohonan tetap dibolehkan," katanya.
Dalam rapat pengesahan tersebut, sempat ada perubahan pada Pasal 34 ayat (3) oleh Ahmad Rubai dari Fraksi PAN. Yakni kurangnya kata 'atau' dalam pasal tersebut. Atas itu dasar itu pula, sidang sempat di skors dan menghasilkan putusan pembenahan dengan bunyi pasal. Yakni; Pengumuman sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2) dilakukan dengan menempelkannya di papan pengumuman yang khusus dibuat untuk itu dan/atau melalui media cetak atau media elektronik. Penjelasan media elektroniknya yakni website MK. Hingga pada akhirnya, UU MK pun disetujui DPR dan pemerintah.