REPUBLIKA.CO.ID,TOKYO - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ani Yudhoyono diterima Kaisar Akihito dan Permaisuri Michiko di Gosho, kediaman resmi Kaisar, Jumat (17/6). Presiden sebelumnya menyempatkan diri mengunjungi National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS) yang merupakan lembaga riset kebijakan publik pimpinan Prof Takashi Shiraishi.
Ketika mengunjungi GRIPS, SBY bercerita tentang pengalaman Indonesia bangkit dari tsunami 2004. Dia berbagi kisah tsunami Aceh agar rakyat Jepang juga bangkit dari keterpurukan usai gempa tsunami pada beberapa bulan lalu.
''Dari pengalaman kami saat menghadapi tsunami 2004, fase paling kritis terjadi dalam tiga bulan pertama sejak bencana tersebut terjadi,'' kata Yudhoyono seperti dilaporkan wartawan Republika, Nasihin Masha, dari Tokyo. ''Fase tersebut disebut periode emergensi bantuan.''
Fase tersebut merupakan fase kritis karena korban tsunami berada dalam situasi hidup dan mati. Bantuan harus segera dikerahkan untuk menyelamatkan korban tsunami yang kelaparan, mengalami luka-luka dan kehilangan tempat tinggal. ''Mereka sangat membutuhkan makanan, obat-obatan, tempat tinggal dan pakaian dengan cepat,'' katanya.
Periode emergensi bantuan juga menjadi fase yang menantang. ''Karena, kami dituntut untuk bisa memobilisasi dang mengorganisasikan operasi yang sangat kompleks. Sebuah operasi yang melibatkan personel militer dan sukarelawan sipil dari berbagai negara untuk satu tujuan: selamatkan nyawa,'' ujar Yudhoyono. ''Ini merupakan sesuatu yang bagi kami di Indonesia itu belum pernah dilakukan. Itu merupakan Military Operations Other Than War (MOOTW) terbesar sejak Perang Dunia 2.''
Namun demikian, kata SBY, ada hal yang paling penting dalam upaya penanggulangan bencana tsunami Aceh. ''Setiap orang di daerah bencana itu pasti mengalami depresi. Moral yang akhirnya membuat seseorang bertahan untuk membantu penanggulangan bencana. Itulah hal yang terpenting,'' katanya.