Jumat 17 Jun 2011 10:32 WIB

TPM: Kasus Terorisme Tidak Transparan!

Red: cr01
 Ustadz Abu Bakar Baasyir saat mendengarkan pembacaan putusan atas kasusnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (16/6).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Ustadz Abu Bakar Baasyir saat mendengarkan pembacaan putusan atas kasusnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (16/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kuasa hukum Ustadz Abu Bakar Ba'asyir (ABB), Ahmad Michdan dari Tim Pengacara Muslim (TPM) mengatakan, penerapan hukum terhadap kasus terorisme di Indonesia tidak transparan, dan lebih bernuansa politik ketimbang penegakan hukum.

Hal ini diungkapkan Michdan, ketika dimintai komentarnya tentang vonis 15 tahun penjara yang diputuskan majelis hakim, Kamis (16/6) kemarin. "Sebagai pengacara, kami (TPM) tidak mendukung aksi terorisme, namun kami meminta penanganan kasus terorisme harus diperbaiki. Karena selama ini penerapan hukum kasus terorisme tidak transparan dan penuh tekanan," kata Michdan, Jumat (17/6).

Tekanan ini, lanjut Michdan, terutama terkait dengan kewenangan berlebih Densus 88 dalam menangani para terduga atau tersangka teroris, yang sebagian besar tewas ditembak sebelum menjalani proses hukum. "Belum lagi ketika proses penyidikan atau pemberkasan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), tak jarang tersangka mendapat tekanan dan siksaan," ujarnya.

"Penegakan hukum kasus terorisme lebih bernuansa politik dan melanggar HAM, ketimbang penegakan keadilan. Oleh sebab itu, kami sudah melapor ke Komisi Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi III DPR-RI terkait dengan pelanggaran HAM yang dilakukan Densus 88. Kami hanya ingin kasus terorisme ditangani secara transparan!" tegas Michdan.

Terkait dengan vonis yang dijatuhkan majelis hakim terhadap ABB, Michdan menilai ada tiga poin mendasar yang diabaikan majelis dalam persidangan. Pertama, masalah kesaksian yang kurang maksimal. Beberapa saksi mendapatkan tekanan dan diarahkan dalam memberikan kesaksiannya. Apalagi para saksi ini tidak mendapatkan akses untuk mendapatkan bantuan hukum. Michdan menilai kesaksian mereka banyak yang telah diatur sebelumnya.

Poin kedua adalah kesaksian melalui telekonference. TPM menganggap kesaksian model begini tidak transparan, karena memungkinkan terjadinya tekanan terhadap saksi. Sejak awal TPM menolak kesaksian telekonference karena menyalahi prosedur, dan meminta majelis agar menghadirkan saksi di persidangan, namun tidak dipenuhi. "Padahal hal ini perlu dilakukan untuk memperjelas kasus yang sebenarnya, tanpa adanya intervensi terhadap saksi," jelas Michdan.

TPM telah melaporkan masalah ini ke Komisi Yudisial (KY) dan telah mendapatkan respons dari lembaga pengawas kinerja para hakim tersebut. Rencananya, respons dari KY akan dijadikan bahan dalam memori banding yang diajukan TPM.

Poin ketiga adalah putusan majelis hakim yang berbeda dengan pertimbangan hukumnya. "Majelis menyikapi bahwa yang terbukti adalah subsider. Sementara jaksa lebih menekankan lebih subsider. Ini inkonsisten," kata Michdan.

Majelis hakim menilai ABB terbukti bersalah dalam dakwaan subsider pasal 14 Junto pasal 7 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tindak pidana terorisme, terkait dengan merencanakan atau menggerakkan orang lain memberikan dananya untuk kegiatan militer di Aceh.

Selain itu, Michdan juga menyayangkan tindakan hakim yang tidak mempertimbangkan kesaksian Chairul Gazali yang juga terdakwa dalam kasus ini. Ghazali mengaku disiksa dan diminta untuk mencabut BAP-nya. "Dia diminta untuk memberikan keterangan yang menjerat Ustadz Abu, ini tidak dipertimbangkan oleh majelis," ujarnya.

Sementara ABB sendiri menolak vonis tersebut. "Saya dengan izin Alllah SWT menolak, karena keputusan ini zalim dan dimurkai oleh Allah karena mengabaikan syariat Islam. Undang-undang Jahiliyah sangat bertentangan dengan hukum Allah, maka haram hukumnya saya menerima," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement