REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bank Pembangunan Asia (ADB) mengingatkan negara-negara berkembang termasuk Indonesia terhadap pentingnya isu ketahanan pangan yang diprediksi akan menjadi permasalahan utama seiring kian meningkatnya penduduk dunia.
"Dalam jangka pendek, kebutuhan pangan penduduk mungkin tercukupi. Namun ini selalu menjadi isu fundamental yang mengemuka dari tahun ke tahun," ujar Managing Director General ADB, Rajat M Nag, kepada wartawan di acara Forum Ekonomi Dunia untuk wilayah Asia Timur (WEF-EA) di Jakarta, Ahad (12/6).
Rajat mengatakan, saat ini pertumbuhan penduduk di Asia akan semakin meningkat dan untuk itu produktivitas pangan khususnya beras, harus ditingkatkan. "Persediaan pangan akan menipis. Untuk itu dibutuhkan peningkatan produktivitas sebagai antisipasi keterbatasan pangan dan energi di masa mendatang," tegasnya.
Untuk itu, ADB mengusulkan pemerintah harus mengembangkan teknologi berbasis revolusi hijau serta meningkatkan penelitian yang berbasis agrikultur. Ini sangat penting, dan pemerintah harus fokus melakukan penelitian berbasis agrikultur untuk pengembangan bibit unggul yang dibutuhkan petani.
Forum WEF-EA menghasilkan kemitraan untuk meningkatkan kerjasama dan memberikan peluang bagi pemangku kepentingan dalam sektor pertanian serta membantu terwujudnya ketahanan pangan di Indonesia. Kerja sama ini memiliki sasaran konkret yaitu 20-20-20, artinya peningkatan produksi pertanian sebesar 20 persen, penurunan emisi sebanyak 20 persen dan pengurangan tingkat kemiskinan di daerah perdesaan sebanyak 20 persen.
Pada pertemuan WEF-EA, telah terjadi kesepakatan untuk menerapkan program kemitraan ini di Indonesia dengan mengikutsertakan lembaga pemerintah seperti Kementerian Pertanian dan 14 perusahaan dunia dan Indonesia termasuk Nestle Indonesia, Archer Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, Pioner/Dupont, Swiss Re, Syngenta, Unilever, Kraft Foods, METRO, Monsanto dan McKinsey. Sedangkan dari Indonesia adalah Sinar Mas dan Indofood.