REPUBLIKA.CO.ID, --Nama Syafruddin Prawiranegara, mungkin tidak seterkenal Soekarno, Muhamad Hatta, Jenderal Besar Sudirman, Soeharto atau Sri Sultan Hamangku Buwono IX.
Lima tokoh yang memiliki peran sangat penting dalam perjuangan dan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia itu, dikenal semua masyarakat negeri ini, termasuk generasi muda sekarang.
Dalam buku-buku sejarah perjuangan bangsa, orang bisa dengan mudah menemukan Soekarno, Muhamad Hatta, Jenderal Besar Sudirman, Seoharto dan Sri Sultan Hamangku Buwono IX,
Namun nama Syafruddin Prawiranegara justru sulit ditemukan, padahal peranananya cukup penting dalam masa perjuangan. Sederet jabatan penting pernah diembannya seperti Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan, Menteri Kemakmuran dan Wakil Perdana Menteri.
Bahkan ketika negara dalam kondisi genting, pada 1948 karena para pemimpinnya, termasuk Soekarno dan Muhamad Hatta ditangkap dan diasingkan ke Bangka, Syafruddin yang asli putera Banten itu, diberi mandat oleh Presiden Soekarno untuk membentuk pemerintahan darurat.
Pada 19 Desember 1948, Syafruddin yang waktu itu menjabat Menteri Kemakmuran pun melaksanakan mandat itu dan membentuk PDRI, dan dia menjadi ketuanya. Syafruddin tidak menamakan dirinya presiden.
Dalam buku berjudul Presiden Prawiranegara yang ditulis Akmal Nasery Basral, Syafruddin menolak disebut sebagai presiden, walaupun waktu itu menjadi kepala pemerintahan dan "memiliki" sejumlah menteri sebagai pembentu dan penglima perang.
Pada halaman 3 buku tersebut, Akmal menuliskan percakapan antara Kamil Koto dengan Syafruddin:
"Jadi, Pak Syaf adalah presiden yang menggantikan Bung Karno?" tanya Kamil Koto.
"Tidak persis begitu. Secara tugas memang iya, tapi saya lebih suka menyebutnya sebagai Ketua PDRI, bukan Presiden PDRI," kata Syafruddin Prawiranegara, menjawab pertanyaan Kamil Koto.
Dalam berbagai buku sejarah dan ketatenegaraan, tidak pernah tertulis nama Syafruddin Prawiranegara sebagai presiden. Susunan Presiden Indonesia secara berturut-turut selalu tertulis Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputeri dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Lalu kemana Syafruddin?, dan apakah peranannya membentuk PDRI dan posisinya sebagai kapala pemerintahan waktu itu tidak layak disebut presiden? Menurut Akmal Nasery Basral, tanpa Syafruddin Prawiranegara maka Indonesia pernah tidak da, karena pernah terjadi kekosongan pemerintahan.
Akmal mengatakan, posisi Syafruddin sebagai kepala pemerintahan merupakan fakta sejarah yang tidak bisa dihilangkan, dan bangsa ini seyogyanya memberikan pengakuan bahwa Syafruddin Prawiranegara adalah presiden ke-2 RI, meski hanya beberapa bulan saja.
Akmal mengatakan, sebagai putera historis dari Syafruddin, ia sangat mengharapkan adanya pengakuan dari pemerintah terhadap bapak historisnya itu, sebagai presiden ke-2 RI.
"Mungkin anak-anak biologisnya Pak Syaf tidak terlalu memikirkan apakah ayahnya diakui sebagai presiden atau tidak, tapi saya dan ribuan putera dan puteri historisnya beliau, menuntut agar pemerintah mengakuinya sebagai presiden," kata Akmal yang kelahiran Sumatra Barat itu.
Ia juga mendesak semua kalangan, agar mengajukan tuntutan pada pemerintah agar Syafrudin diakui sebagai presiden dan diberi gelar sebagai pehlawan nasional.
Mantan Hakim Agung Benyamin Mangkudilaga mengingatkan, agar bangsa ini tidak melupakan sejarah dan para pejuang yang telah merebut serta mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Sebagai suatu bangsa, kita jangan pernah melupakan sejarah dan para pejuang yang telah memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga bisa seperti sekarang ini," katanya.
Syafruddin Prawiranegara, kata dia, tidak bisa dipisahkan dari perjuangan Bangsa Indonesia. Peranannya dalam memperjuangkan dan mempertahankan NKRI sangat besar. "Bayangkan, jika Syafruddin waktu itu tidak menjalankan pemerintahan seperti yang diperintahkan Soekarno, maka akan terjadi kekosongan pemerintahan, dan entah apa yang terjadi," katanya.
Syafruddin, kata dia, patut mendapat pengakuan sebagai presiden ke-2, dan layak ditetapkan sebagai pahlawan nasional, karena jasanya sangat besar terhadap negara.
Selama hidupnya, Syafruddin Prawiranegara pernah menjalankan tugas strategis dalam pemerintahan, yakni sebagai Gubernur Bank Indonesia yang pertama, Menteri Keuangan, Menteri Kemakmuuran dan Wakil Perdana Menteri. "Jangan hanya karena Syafruddin pernah terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta), kiprahnya ditiadakan dan jasanya dilupakan," katanya.
Ia menjelaskan, Bangsa Indonesia pernah melupakan Oemerdhani sebagai Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU) ke-2 karena terlibat dalam Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G 30 S/PKI), dan di Mabes AU Oemardhani ditiadakan. Tapi, sekarang Oemardhani sudah direhabilitasi dan namanya kembali dimunculkan sebagai Kasal ke-2 dan gambarnya ada di Mabes AU.
Kemudian, Kawilarang yang juga terlibat dalam PRRI/Permesta pernah dilupakan, tapi sekarang kembali diakui dan ditetapkan sebagai Bapak Resimen Para Komano Angkatan Daerah (RPKAD). "Kalau Oemerdhani dan Kawiralang bisa diakui kiprahkan sebagai Kasal ke-2 dan Bapak RPKAD, mengapa Syafruddin tidak bisa juga diakui sebagai presiden ke-2 RI," katanya.
Apalagi, kata dia, tidak pernah ada putusan pengadilan yang menyatakan Syafruddin bersalah, dan presiden juga telah memberikan amnesti dan abolisi pada para pengikut PRRI/Permesta.
Tidak ingin dihargai
Syafruddin Prawiranegara, merupakan figur yang ikhlas dalam menjalankan tugasnya. Semua kepercayaan yang diberikan negera dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab demi bangsa, negara dan rakyat yang sangat dicintainya.
"Bapak saya tidak pernah minta dihargai, karena menurut beliau apa yang dilaksanakannya merupakan tugas dan kewajiban, jadi tidak perlu diberi penghargaan," kata Farid Prawiranegara, putera ke-4 Syafruddin Prawiranegara.
"Bapak, saat menjadi kepala pemerintahan waktu zaman PDRI tidak ingin disebut sebagai presiden, dan sampai sekarang pun saya yakin beliau tidak menginginkan pengakuan itu," kata Farid.
Farid mengaku, sebagai puteranya, ia berharap pemerintah mengakui ayahnya sebagai presiden, karena faktanya pernah menjadi kepala pemerintahan. Menurut Farid, pemerintah telah mengisyaratkan untuk memberikan gelar pahlawan bagi Syafruddin Prawiranegara, tapi tidak bisa meluluskan keinginnya agar ayahnya diakui sebagai presiden.
"Saya pernah bertemu dengan Menteri Pertahanan dan Mekopolhukam, dan dia mengatakan (Syafruddin) bisa jadi pahlawan," katanya. Namun, kata dia, baik Menteri Pertahanan maupun Menkopolhukam menyatakan, tidak bisa mengakui Syafrudin Prawiaranegara sebagai presiden ke-2.
"Yang penting bagi kita, justru pengakuan Syafruddin sebagai presiden, bukan penetapannya sebagai pahlawan," katanya.