REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Empat rektor dari berbagai universitas di Indonesia mengajukan gugatan perlawanan hukum oleh pihak ketiga terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) terkait perkara susu formula. Penggugat susu formula, David Tobing pun menegaskan siap menghadapi gugatan tersebut.
"Empat doang. Saya akan hadapi gugatan itu dan akan berusaha memberi pelajaran hukum kepada para rektor yang memang bukan bidangnya atau ilmunya bukan di hukum, hukum itu lebih tinggi dari etika," kata David menegaska saat dihubungi, Kamis (19/5).
David pun mengaku malu karena digugat oleh almamaternya sendiri di Universitas Indonesia. Menurutnya, berdasarkan informasi yang dia terima, rektor tersebut belum berkonsultasi kepada guru besar Fakultas Hukum UI. Ia pun mengaku akan menyerah jika sudah ada fatwa dari guru besar bahwa etika memang lebih tinggi dari hukum.
"Harusnya dia konsultasi ke seluruh guru besar Fakultas UI. Kalau sudah ada rapat khusus dan memfatwakan bahwa etika lebih tinggi saya akan nyerah deh," katanya menjelaskan.
Terkait sita eksekusi yang diajukan, David Tobing menegaskan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat seharusnya tidak bisa langsung menyerah dengan menyatakan tidak bisa melakukan eksekusi. David pun memiliki tafsir berbeda atas hukum acara perdata dalam perkara susu formula. Menurutnya, pengadilan harus melakukan upaya paksa dulu. "Gak bisa langsung nyerah," imbuh David.
Jika tergugat menolak eksekusi, menurutnya, pengadilan dapat melakukan sita jaminan yang didaftarkan oleh penggugat. Yakni, meja rektor Institut Pertanian Bogor. "Kalau tidak menjalankan maka dilihat jaminannya," ujarnya.
Kepala Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Suwidya, menjelaskan sudah mendapatkan konfirmasi bahwa terdapat empat universitas yang mengajukan perlawanan hukum pihak ketiga atas kasasi Mahkamah Agung dalam perkara susu formula. Empat universitas itu yakni Universitas Andalas, Universitas Sumatera Utara, Universitas Hasanudin dan Universitas Indonesia.
Menurutnya, PK dan perlawanan hukum biasanya tidak menghambat sita eksekusi. Akan tetapi, tuturnya, biasanya terdapat penundaan dalam proses tersebut. "Biasanya ditunda, ada pada kewenangan diskresi untuk lanjut atau gak lihat urgensi permasalahan," tutur Suwidya.
Untuk proses selanjutnya, Suwidya mengatakan pengadilan akan memproses permohonan tersebut seminggu setelah masuknya surat ke pengadilan. Nantinya, tutur Suwidya, para penggugat akan mendapatkan nomor perkara hingga kemudian majelis hakim akan memanggil para pihak. Akan tetapi, ungkapnya, persidangan baru bisa dilakukan tiga hari setelah pemanggilan tersebut.