REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA-- Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata meminta para pelaku industri spa untuk membuat kode etik guna menjaga citra dunia usaha tersebut yang selama ini dicap negatif.
Direktur Jenderal Pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Sapta Nirwandar, mengatakan hal itu di sela-sela acara "Global Spa Summit" di Nusa Dua, Bali, Selasa. "Kode etik itu cukup penting di Tanah Air untuk menghidari pencitraan buruk usaha spa yang selama ini cukup melekat," katanya.
Sementara Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengutarakan hal itu kepada para pimpinan industri tersebut. Dia berharap supaya dalam acara yang diikuti oleh pemilik dan pelaku usaha spa dari 38 negara itu bisa dibahas tentang kode etik tersebut.
"Kode etik itu penting di Indonesia, karena jangan sampai praktik spa melanggar norma yang ada di negeri ini," katanya.
Peter Ellies, CEO Spa Finder, Board Founder Member Global Spa Summit, mengatakan mengenai kode etik itu memang perlu dipikirkan dan dibahas karena selama ini memang tidak ada hal seperti itu. "Namun perlu dipikirkan apakah semua negara bisa menerapkannya, tetapi khusus untuk Indonesia mungkin perlu adanya kode etik," katanya.
Global Spa Summit adalah pertemuan internasional tahunan yang secara khusus mendiskusikan industri spa dan kesehatan. Pesertanya sebanyak 296 orang yang berasal dari 38 negara di seluruh dunia.
Acara tersebut bersifat khusus dengan undangan terbatas yang diikuti para eksekutif dan pimpinan dari seluruh dunia yang memiliki minat dalam industri tersebut. Seperti diketahui, peningkatan industri spa di Tanah Air sebesar tujuh persen setiap tahun.
Indonesia termasuk tiga negara di kawasan Asia yang memiliki perkembangan industri spa yang cukup meningkat, di bawah India dan China. Industri tersebut tengah digarap serius karena memiliki potensi yang cukup besar dalam menyumbang pertumbuhan pariwisata.
Selain itu, bidang usaha yang menjadi bagian industri pariwisata itu juga menyerap tenaga kerja yang cukup besar.