REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-Dalam hitungan hari, dua peristiwa amuk massa yang dipicu sentimen agama meletus di negeri ini. Diawali bentrokan jemaat Ahmadiyah dengan warga di Cikeusik, Pandeglang, Banten, Ahad (6/2). Belum tuntas penanganan pemerintah terhadap bentrok tersebut, Selasa (7/2), pecah kerusuhan di kota Temanggung, Jawa Tengah, yang dipicu ketidakpuasan massa terhadap vonis terdakwa penistaan agama, Antonius Richmord Bawengan. Tiga gereja dan sejumlah kendaraan hangus dibakar. Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), AA Yewangoe, dalam wawancara dengan Republika, memberikan pandangannya terhadap peristiwa yang mengoyak kerukunan umat beragama tersebut.
Apa latarbelakang aksi pelecehan oknum Kristen terhadap agama lain?
Saya tidak tahu. Saya baru dengar di pengadilan (Temanggung), belum lihat isi selebarannya. Saya tidak tahu motivasinya. Tapi yang jelas, itu tidak resmi dilakukan oleh gereja PGI. Artinya, secara teologis dan resmi, kami tidak punya niat seperti itu. Pelecehan itu tidak diterima oleh kita.
Bagaimana Anda melihat kerusuhan di Temanggung?
Kita juga kaget bahwa keputusan pengadilan tidak disetujui massa, lalu disikapi dengan perbuatan anarkis. Padahal kalau tidak setuju, ada mekanisme hukum. Artinya, bisa naik banding atau bahkan sampai kasasi. Harus diingat, masyarakat kita mampu sadar hukum.
Kedua, tentu kita harapkan negara ini mampu juga melindungi tumbah darah Indonesia, warga negara Indonesia, tanpa memandang agama dan ras atau apapun juga. Kita mengharapkan negara ini lebih sigap untuk melakukan tugas perlindungan. Itu tugas konstitusi.
Ketiga, negara tidak boleh secara sukarela atau tidak, seolah-olah menyerahkan kewibawaan mereka kepada kelompok tertentu untuk melakukan penghakiman sendiri. Ini bisa menghilangkan kewibawaan negara.
Menurut Anda, bagaimana sebenarnya konsep kerukunan umat beragama?
Konsep kita sudah omong banyak. Kalau hubungan elitis itu bagus-bagus saja. Tapi di bawah yang biasanya begitu (konflik).
Pengadilan (di Temanggung) itu kan menyangkut pelecehan. Memang kita di Indonesia ini harus tenggang rasa. Jangan menyinggung saudara lain yang berbeda keyakinan.
Kalau (pelecehan) itu terjadi dan digugat di muka hakim, maka keputusan hakim tidak boleh disikapi dengan tindakan kekerasan, yang lalu menjadi meluas, gereja dibakar. Padahal mereka tidak ada sangkut pautnya apapun dengan terdakwa.
Jadi, saya kira, kerukunan beragama secara otentik sudah ada sedari dulu, tanpa diatur dan dibikin, jadi begitu saja. Orang tinggal (dengan rukun) di dalam komunitas yang sama walupun berbeda agama. Cuma akhir-akhir ini hal yang bagus itu menjadi terganggu berbagai macam faktor, seperti globalisasi dan mobilitas penduduk.
Itulah menurut saya, orang Indonesia harus kembali ke jati dirinya yang dulu, tenggang rasa, rukun satu sama lain. Saya kira itu, tidak ada konsep yang baru.
Bagaimana Kristen memandang perbedaan dalam agama?
Perbedaan agama itu tidak apa. Bahkan dalam agama yang sama ada perbedaan interpretasi. Satu gereja mainstream melihat yang lain sebagai sesat. Cuma memang cap sesat itu, menurut paham kami, tidak boleh dilakukan oleh negara. Hanya boleh dilakukan oleh komunitas agama itu sendiri.
Kalau memang ada cap sesat macam itu, maka yang dilakukan adalah percakapan. Dan, jangan pernah harap satu-dua kali percakapan selesai, harus terus-menerus, mungkin tidak ada hasil tapi harus terus-menerus.
Lalu, bagaimana Kristen memandang agama lain, termasuk Islam?
Mereka dipandang sebagaimana dia. Dalam pandangan Kristen, siapapun dia itu adalah citra Allah, apakah dia Islam, Hindu, atau yang lain. Tentu saja, sama dengan agama Islam, ada perbedaan. Cuma perbedaan itu tidak usah menjadi alasan untuk permusuhan. Itu semua wajar dalam komunitas agama.
Bagaimana dengan aksi fundamentalisme di Kristen?
Fundamenlisme itu ada di mana-mana. Semua agama punya. Ada fundamentalisme yang kasar atau memakai selebaran melecehkan agama lain. Makanya kita juga menolak pandangan itu. Sebab, fundamentalisme itu adalah klaim bahwa interpretasi dia sendiri yang paling benar, yang lain salah.
Dalam pandangan kami, Allah itu melampaui segala macam interpretasi. Kalau saya melakukan interpretasi kepada Allah, orang yang lain mempunyai hati yang sama melakukan interpretasi. Lalu pertanyaannya, apa interpretasi saya benar dari yang lain? Kalau fundamentalisme itu dia sendiri yang benar, yang lain semua hitam.
Fundamentalisme itu selalu tidak jelas yang mana, tapi ciri-cirinya itu. Kalau sudah terjadi, oh iya, misalnya selebaran. Kami sendiri tidak tahu selebaran macam itu. Seharusnya, melakukan percakapan menyadarkan orang-orang ini terus-menerus. Kita harus ingatkan, tidak boleh melecehkan apa yang dianut dan dihormati agama lain.
Sebenarnya apa yang mendasari aksi para fundamentalis itu?
Sejarahnya panjang sekali, harus diteliti case by case. Kalau di Temanggung itu saya tidak tahu. Saya tidak pernah tahu. Harus diteliti. Timbulnya fundamentalisme itu adalah sebuah klaim bahwa dia sendiri yang benar. Apa dibalik klaim itu kita sendiri tidak tahu