REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kasus Gayus Halomoan Partahanan Tambunan membuat citra aparat penegak hukum babak belur. Ulah segelintir oknum aparat dalam pusaran mafia pajak dan mafia hukum, ikut menyeret seluruh lembaganya.
Stigma bahwa aparat penegak hukum itu korup dan suka bermain mata kian kuat di masyarakat. Akibatnya, masyarakat yang tak puas melihat penanganan kasus ini karena terkesan berlarut-larut dan setengah hati menumpahkan kekesalannya. Dan sialnya, kekesalan itu harus diterima oleh aparat penegak hukum, seperti Polri, yang bertugas berhadapan langsung dengan masyarakat di lapangan.
Prajurit kecil yang tak tahu menahu soal kasus Gayus ikut terkena getahnya. Seperti yang dialami seorang Polisi lalu lintas yang biasa bertugas di sebuah pos Polisi di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sebut saja namanya Rizal. Dia beberapa kali menjadi sasaran kekesalan masyarakat
Mulai dari sindiran halus, protes, sampai caki-maki dengan bahasa yang kasar pernah dirasakannya di tengah-tengah menjalankan tugas mengatur keruwetan lalu lintas di Ibu Kota. Rizal bercerita, masyarakat kerap menyindirnya dengan menanyakan kabar Gayus. Atau, ada pula yang menitip pesan agar Gayus diberi hukuman berat. Pesan yang terkesan ingin menyindir pula korpsnya. ''Orang-orang suka menitip pesan untuk Gayus,'' ujarnya kepada Republika, Kamis (20/1), sambil berpesan agar namanya tak ditulis.
Sebenarnya, Rizal cukup risih dengan perlakuan masyarakat seperti itu. Pasalnya, boro-boro ia mengenal Gayus, melihatnya secara langsung pun belum pernah. Kalau sudah ada pesan-pesan itu, ia pun hanya mengangguk pasrah dan memaksakan senyum kepada orang yang menyindirnya. ''Meski jengkel, tapi tetap senyum lah,'' tuturnya.
Pernah pula, Rizal melanjutkan ceritanya, ada sekelompok mahasiswa berjaket almamater yang meneriaki dirinya dengan kata-kata kasar. Padahal saat itu, dirinya tengah sibuk mengatur arus kendaraan bermotor yang padat di jalan. ''Mereka berteriak kalau polisi tukang palak koruptor,'' ungkapnya jengkel.
Namun, Rizal coba berbesar hati menerima semua perlakuan tak menyenangkan tersebut. Itu semua dianggapnya sebagai bagian dari risiko seorang polisi yang kini citranya sedang terpuruk akibat kasus Gayus. Lagi pula, sulit bagi dirinya untuk menjelaskan kepada masyarakat bahwa dia seorang polisi yang berbeda. ''Paling tidak, saya tidak seperti Gayus lah,'' ucapnya sambil tersenyum nyinyir.
Kasus Gayus juga menyerempet Direktorat Jenderal (Dirjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Gara-garanya, paspor asli tapi palsu alias aspal atas nama Sony Laksono yang dipakai Gayus untuk jalan-jalan ke luar negeri saat masih berstatus tahanan di Mako Brimob Kepala Dua, Depok, Jawa Barat. Disebut-sebut mafia pembuat paspor aspal ini melibatkan orang dalam.
Namun dibanding Polri, dampak yang mesti ditanggung aparat Imigrasi tampaknya tidak terlalu parah. Pegawai imigrasi tak harus ikut menanggung malu besar akibat ulah segelintir oknumnya. Ejeken yang diterima dari masyarakat masih relatif kecil. ''Ya, begitu deh,'' ujar Suratno, pegawai bagian Security Internal Dirjen Imigrasi.
Suratno enggan mengungkapkan lebih detail bentuk ejekan atau sindiran yang pernah diterima baik dari masyarakat atau tetangga rumahnya. Hanya, dia terkesan cuek dengan masalah paspor Gayus yang membuat citra tempatnya bekerja menjadi miring. Dia bilang, orang-orang seperti dirinya tidak perlu memikirkan citra imigrasi. ''Yang memikirkan pencitraan itu kan para petinggi-petinggi saja,'' katanya.
Terlepas dari getah yang mesti ditanggung aparatnya, kasus Gayus ini, di sisi lain, membawa angin perubahan di internal Imigrasi. Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar terlibat bergerak cepat dengan mencopot jabatan sejumlah anak buahnya. Bahkan, Dirjen Imigrasi kini sudah berganti orang.
Layanan pembuatan paspor di kantor Imigrasi juga coba diperbaiki, seperti yang terlihat di kantor Imigrasi Denpasar, Bali. Usai mencuatnya kasus Gayus, kini kantor Imigrasi yang terletak di kawasan Renon, Denpasar, menyediakan ruang tunggu bagi masyarakat yang lebih nyaman.
Di atas sebuah meja di ruang tunggu itu terlihat air mineral yang tersusun rapi dengan ditemani kembang gula yang diletakkan di dalam mangkuk kaca. Suguhan sederhana itu diberikan cuma-cuma bagi masyarakat yang datang hendak mengurus dokumen keimigrasian. ''Ya, ini ala kadarnya saja,'' ujar Sandi, salah seorang kepala seksi di kantor Imigrasi Denpasar.
Yang paling menonjol dan beda dari tahun-tahun sebelumnya, pegawai Imigrasi yang melayani masyarakat terlihat jauh lebih ramah. Prosedur pengurusan paspor ditata lebih tertib, lebih mudah, lebih terang persyaratan dan ketentuannya, serta lebih pasti birokrasinya dengan biaya yang jelas.
Di beberapa bagian ruangan kantor itu, tertulis pesan peringatan agar masyarakat mengurus sendiri urusan keimigrasiannya. ''Uruslah Sendiri Paspor Anda, Jangan Menggunakan Jasa Calo,'' demikian bunyi peringatan itu.
Di bagian lain terpampang pula dengan jelas, tulisan biaya yang mesti dikeluarkan masyarakat untuk mendapatkan paspor baru atau perpanjangan. Untuk paspor konvensional setebal 48 halaman dihargai Rp 255.000 dan Rp 105.000 untuk paspor biasa 24 halaman. Sedangkan untuk E-Paspor 48 halaman, biayanya Rp 655.000 dan Rp 405.000 untuk E-Paspor 24 halaman. Sementara, pengambilan sidik jari yang dulu dikenakan biaya sebesar Rp 20.000 per orang, kini dihapus.
Meski sejumlah jaksa disebut-sebut terlibat dalam kasus mafia hukum Gayus, Tokok Bambang, jaksa penuntut umum untuk perkara terorisme, menganggap biasa sikap negatif masyarakat yang ditujukan kepada institusinya. Semua itu, dikatakannya, tak memengaruhi kinerjanya. ''Ada dampak positif-negatif, tak terpengaruh secara psikologis,'' ucapnya.
Totok memandang oknum yang terlibat kasus Gayus mesti dipisahkan dari lembaganya. Dia yakin masyarakat sudah cerdas untuk membedakan mana yang oknum dan mana yang institusi.