REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA- Pertukaran narapidana atau transfer of sentenced person atau (TSP) dinilai tidak menguntungkan bagi Indonesia. Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM (Menhukham) RI, Patrialis Akbar, mengatakan program pertukaran napi tersebut sangat menguntungkan.
“Menguntungkan siapa? Apa yang diuntungkan? Saya melihat tidak ada keuntungan dalam program tersebut,” kata Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerdon Yuntho, di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Ahad (16/1) siang.
Ia mengatakan program TSP tersebut malah menjadi beban baru bagi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhukham) RI. Pasalnya, pemerintah Indonesia pun harus menyediakan napi Australia di Indonesia sebanyak 12 ribu, termasuk Schapelle Leigh Corby, dengan 12 ribu napi Indonesia di Australia.
Padahal, tambahnya, napi Australia faktanya lebih senang berada dalam balik penjara di Indonesia dibandingkan di Australia. Para napi Australia merasa lebih ‘diperhatikan’ karena dapat mendapatkan fasilitas mewah di dalam ‘hotel prodeo’ itu layaknya Arthalita Suryani atau kerap disapa Ayin.
“Mereka (napi Australia) malah lebih senang di sini, lebih diperhatikan,” imbuhnya sambil menyindir terungkapnya ‘sel khusus’ yang dipenuhi fasilitas mewah Ayin yang saat itu masih berada Lapas Pondok bambu, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu.
Tawaran adanya program pertukaran napi ini muncul usai pertemuan antara pemerintah Australia yang diwakili oleh Sekretaris Jaksa Agung Australia, Roger Wilkins dan Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty dengan Jaksa Agung RI, Basrief Arief, Wakil Jaksa Agung, Darmono dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), M. Amari beberapa waktu lalu.