REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-–Novum (bukti baru) kasus Bali Nine yang diajukan untuk peninjauan kembali (PK) dinilai majelis hakim Mahkamah Agung (MA) tidak mempengaruhi proses pembuktian yang bisa membatalkan tindak pidana. Upaya PK dilakukan oleh Martin Eric Stephens yang terkait kasus penyelundupan narkoba di Bali pada 2005.
Ketua majelis hakim PK Bali Nine, Djoko Sarwono, mengatakan putusan penolakan PK Bali Nine dilakukan karena setelah meneliti keputusan hakim sebelumnya, pihaknya tidak menemukan adanya kesalahan nyata dari keputusan hakim. "Lalu, tidak ada novum yang menentukan. Kalaupun mereka ada novum tapi tidak menentukan, tidak mempengaruhi proses pembuktian yang bisa membatalkan tindak pidana itu dari pertama, banding, sampai kasasi," kata Djoko dikonfirmasi Republika, Jumat (14/1).
Ia memaparkan novum yang diajukan pemohon diantaranya adalah surat dari sebuah badan narkotika (seperti BNN Indonesia) di Australia yang menyatakan bahwa terdakwa tidak berperan penting dalam kasus narkoba. "Tapi itu kan menurut kejadian saat dia (Martin) di Australia. Perbuatan di Denpasar kan lain, oleh karena itu alat bukti tidak punya peran menentukan dalam pembuktian, jadi dia tetap dihukum seumur hidup," tukas Djoko.
Djoko menambahkan Martin tetap masih bisa mengajukan grasi kepada presiden, namun untuk itu Martin harus mengakui bahwa dia bersalah. Nantinya, ujar Djoko, MA pun akan memberikan pendapat mengenai pengajuan grasi tersebut namun dengan majelis hakim yang berbeda saat PK agar tak terjadi konflik kepentingan.
Ia menjelaskan pemberitahuan petikan putusan MA (berisi hanya amar putusan, tidak ada pertimbangan) mengenai PK anggota Bali Nine itupun seharusnya sudah dikirimkan Jumat pagi ke pengadilan negeri Denpasar. PK MA atas Martin diputus oleh tiga hakim agung yaitu Djoko Sarwoko sebagai ketua majelis hakim, Komariah Emong Sapardjaja, dan Surya Jaya. Ketiga hakim itu memutuskan menolak PK yang bernomor registrasi 122 PK/PID.SUS/2010.