REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pemerintah mempertimbangkan masukan publik dan juga aspek sosiologis dalam menentukan gelar pahlawan nasional bagi dua tokoh, yaitu Dr Johannes Leimena dan Johannes Abraham Dimara. Meski demikian, Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan yang juga Menko Polhukam Djoko Suyanto dalam konferensi pers di Ruang VIP Bandara Internasional Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan bukan berarti tokoh lain yang telah diteliti oleh Kementerian Sosial namun tidak mendapatkan gelar pahlawan nasional dianggap tidak layak. "Bukan berarti tidak layak. Tapi pertimbangan publik, sosiologis, masukan yang disampaikan masyarakat kepada anggota dewan menjadi pertimbangan dalam menentukan apakah seseorang mendapatkan gelar pahlawan nasional," jelasnya.
Sebelumnya, Kementerian Sosial mengajukan 10 nama tokoh yang telah diseleksi untuk memperoleh gelar pahlawan nasional yang diajukan kepada Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan. Sepuluh tokoh itu adalah mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dari Jawa Barat, Habib Sayid Al Jufrie dari Sulawesi Tengah, mantan Presiden Soeharto dari Jawa Tengah, mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid dari Jawa Timur.
Kemudian Andi Depu dari Sulawesi Barat, Johannes Leimena dari Maluku, Johannes Abraham Dimara dari Papua, Andi Makkasau dari Sulawesi Selatan, Pakubuwono X dari Jawa Tengah, dan Sanusi dari Jawa Barat.
Djoko menjelaskan 10 tokoh tersebut sebenarnya telah menjalani penelitian di Kementerian Sosial yang berarti telah memenuhi syarat secara teknis dan juga administrasi khusus dan umum. Namun, lanjut dia, Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan yang beranggotakan tujuh orang mempertajam dan memperdalam lagi usulan Kementerian Sosial itu dan akhirnya hanya mengajukan dua tokoh yang disetujui oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Kita diskusi cukup tajam dan mendalam dari semua aspek. Gelar pahlawan nasional itu sangat membanggakan almarhum dan keluarga yang ditinggalkan sehingga gelar itu seyogianya apabila diberikan tidak menjadikan keluarga yang ditinggalkan ada kendala apa pun," jelas Djoko.
Dalam acara penganugerahan gelar pahlawan nasional dan tanda jasa lainnya di Istana Negara pada Kamis pagi, pemerintah melalui Keputusan Presiden No 52 TK/2010 akhirnya memberikan gelar pahlawan hanya kepada dua tokoh, yaitu Johannes Leimena dan Johannes Abraham Dimara.
"Memang di antara yang kita diskusikan kedua beliau itu yang direkomendasikan gelar pahlawan nasional, bukan berarti yang lain tidak layak. Tapi dua beliau itu yang disetujui Presiden," ujar Djoko.
Seluruh anggota Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, menurut dia, sepakat bahwa delapan tokoh lain yang diajukan oleh Kementerian Sosial tetap memiliki jasa besar kepada bangsa dan negara.
Namun, kata Djoko, pertimbangan mendalam dari berbagai aspek termasuk masukan publik itulah yang akhirnya lebih menentukan pemberian gelar pahlawan kepada Leimena dan Abraham Dimara yang akhirnya disetujui oleh Presiden.
Djoko mengatakan tidak ada pertimbangan khusus dari pemerintah sehingga gelar pahlawan nasional akhirnya diberikan kepada dua tokoh yang berasal dari Indonesia Timur.
Johannes Leimena adalah tokoh pejuang dari Maluku yang pernah menjabat Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Dwikora II dan Kabinet Dwikora III pada 1966. Pria yang lahir pada 6 Maret 1905 itu adalah seorang dokter yang telah berkarya di berbagai daerah dan juga sempat menjabat menteri kesehatan pada 1946-1956. Ayah delapan anak itu meninggal dunia di Jakarta pada 29 Maret 1977.
Sedangkan Johannes Abraham Dimara adalah pejuang dari Papua yang pernah menjadi Ketua Pembebasan Irian Barat. Ia juga terlibat dalam perjuangan pembebasan Irian Barat di forum internasional pada 1961.
Pada era orde baru, Abraham bertugas sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sejak 1965 hingga 1980 dan meninggal dunia di Jakarta pada 20 Oktober 2000.