REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR--Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komas HAM) akan menuntut manajemen PT Garuda Indonesia yang telah melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Garuda dinilai telah melakukan tindakan diskriminatif kepada penumpang khusus.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM), Saharuddin Daming, saat melakukan kunjungan kerja di Makassar, Rabu, menegaskan pihaknya akan mengumpulkan bukti-bukti indikasi pelanggaran HAM ini, dan akan memprosesnya secara hukum. "Kami akan memproses perkara ini. Apabila dalam proses investigasi nanti, manajemen Garuda maupun pihak-pihak terkait lainnya yang terlibat ditemukan melakukan pelanggaran, maka Komnas HAM tiak segan-segan melakukan tindakan keras kepada yang bersangkutan," ujarnya.
Saharuddin mengaku, dugaan pelanggaran HAM cukup kuat terjadi karena perlakuan manajemen Garuda terhadap penumpang khusus bernama Irwan yang ketika itu dipaksa turun oleh seorang pilot Garuda dengan nomor penerbangan GA 607771 dianggap melanggar Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. "UU No. 1/2009 itu telah menegaskan secara detil bagaimana prosedur perlakuan khusus kepada penyandang cacat tunanetra, yang kelihatannya tidak dilaksanakan secara benar oleh pilot Garuda itu," ungkap dia.
Dia menguraikan, Pasal 134 ayat 2 dalam Undang-undang tersebut telah menyebutkan bahwa layanan dan fasilitas khusus penyandang cacat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti pengantaran dari ruang tunggu ke tempat "check in", menyiapkan kursi roda, ruang pembaringan, tempat duduk yang iupayakan dekat dengan toilet, sehingga memudahkan penumpang khusus menjangkau fasilitas itu.
"Dan pada ayat 3 pasal tersebut ditegaskan tidak ada biaya khusus yang di bebankan kepada penumpang khusus. Tetapi prosedur tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya oleh pihak manajemen," kata dia.
Putra Sulsel yang menyandang gelar doktor tunanetra pertama di bidang hukum di Indonesia ini menyayangkan, sikap manajemen yang menolak penumpang khusus itu naik ke pesawat mereka dengan alasan yang tidak masuk akal, sebab mereka berdalih larangan ini sudah sesuai dengan aturan penerbangan Internasional.
"Ini yang mengherankan kami, karena mereka selalu merujuk pada aturan penerbangan Internasional. Padahal dua lembaga penerbangan Internasional seperti ICAO dan INACA tidak ditemukan adanya aturan seperti itu," ungkap dia.
Dia menduga, sikap manajemen ini adalah sebuah rekayasa untuk melakukan tindakan diskriminatif terhadap penumpang khususnya penyandang tunanetra yang jelas-jelas melakukan pelanggaran Undang-undang HAM dan Undang-undang penerbangan.
Dia membantah jika ada aturan penerbangan Internasional yang melakukan pelarangan bagi penumpang penyandang cacat, karena Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memiliki konvensi Internasional penyandang cacat yang meminta negara yang memiliki penyelenggaran transportasi untuk memberikan fasilitas pelayanan khusus bagi penyandang cacat.