REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, menyerahkan pengawasan MK kepada pers. Selama ini lembaga hukum itu berjalan tanpa pengawasan.
"Pers merupakan pengawas yang efektif bagi MK. Sekarang tidak ada lembaga pengawas," ujar Mahfud ketika membuka acara silaturahmi MK dan pimpinan media di Gedung MK, Kamis (19/08).
MK lepas dari pengawasan sejak akhir tahun 2006. Ketika itu MK membatalkan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim dalam sebuah sidang uji materi.
Tapi meskipun tidak berada dalam pengawasan lembaga negara yang lain, Mahfud justru merasa tenang dengan adanya pers yang selalu meliput perkembangan MK. "Terus terang kami lebih ketat diawasi oleh pers dalam menentukan kebijakan dan sebagainya," kata Mahfud.
Selain itu, efektivitas pengawasan oleh pers justru lebih terasa karena hasilnya bisa langsung diketahui oleh masyarakat dalam lingkup yang luas. Hal ini berbeda jika pengawasan masih tetap dilakukan oleh KY. Terkadang pengawasan itu hanya berputar di lembaga itu saja. "Masyarakat kadang tidak tahu hasilnya," ujar Mahfud.
Namun, jika pemerintah memang ingin membentuk sebuah institusi pengawasan terhadap MK, Mahfud memilih untuk bersikap netral dan menyerahkannya pada legal policy oleh DPR. Meskipun peraturan tentang pengawasan hakim sudah dibatalkan, dia berharap pemerintah dapat menemukan cara untuk bisa mengembalikan pengawasan itu. "Cari formula yang tidak sama dengan dulu," ujarnya.
Lebih lanjut Mahfud mengatakan, pengawasan ini sebenarnya merupakan kebutuhan yang mendesak. Sebab MK sangat rentan terhadap 'pendekatan'. "Tadi jam satu, ada seseorang menelepon, menyampaikan surat penting Ibu Ani Yudhoyono. Ternyata orang itu hanya mau berbicara perkara, tidak ada hubungannya dengan Ibu Ani. Saya suruh dia keluar. Perkara tidak boleh dibicarakan di luar ruang sidang," tegasnya.
Saat ini, kata Mahfud, jarak MK dengan ide awal pembentukannya semakin lama akan semakin jauh. Sehingga tidak ada yang menjamin tidak adanya pelanggaran. Hal ini diperkeruh dengan kondisi masyarakat daerah yang masih melakukan klaim memiliki hubungan dengan para hakim MK untuk melakukan penipuan. Berbekal foto bersama atau kartu nama salah seorang hakim, para oknum itu bisa mengaku mengenal hakim MK dan melakukan pemerasan. "Orang di daerah bisa dikelabuhi seperti itu," tandasnya.