REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pakar hukum tata negara, Saldi Isra, menilai munculnya wacana penambahan masa jabatan presiden justru merusak rencana amandemen untuk hal penting lain. Terutama terkait kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Komisi Yudisial (KY).
"DPD yang sejak awal mendorong adanya amandeman. Dengan isu ini (penambahan masa jabatan presiden), orang jadi takut gagasan DPD dibonceng isu itu. Orang lalu mengatakan tidak usah saja diamandemen sekarang," ujar Saldi seusai memberikan keterangan di gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (19/08). Pakar dari Universitas Andalas itu melihat adanya kemungkinan menunda amandemen yang telah diusung oleh DPD hingga lima tahun kedepan.
Jika melihat bangunan koalisi yang telah dibangun Partai Demokrat saat ini, katanya, peluangnya akan besar untuk memasukan perpanjangan masa jabatan presiden dalam agenda amandemen. Saat ini komposisi koalisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebanyak 75,5 persen, sehingga mudah memenuhi syarat untuk mengusulkan agenda amandemen. "Ini pasti sangat merugikan DPD, yang sampai sekarang masih menggagas adanya perubahan itu," kata Saldi.
Kemudian dari sisi KY, penundaan amandemen juga bisa mempersulit upaya penguatan lembaga hukum itu. "Sekarang akan sulit memparkuat Komisi Yudisial kalau kemudian tidak ada amandemen konstitusi lagi," ujar Saldi.