REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA--Regulasi penyiaran dan pers yang tidak secara tegas membedakan karya jurnalistik dan nonjurnalistik, menjadi pintu masuk bagi produk infotainment untuk mengembangkan diri, kata pengamat media massa dari Universitas Gadjah Mada Ahmad Nyarwi.
"Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, dan Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, tidak secara spesifik membahas infotainment, dan tidak memberi penegasan apakah infotainment merupakan karya jurnalistik atau bukan," katanya, di Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, berkembangnya infotainment merupakan bagian dari menguatnya industri media massa terutama elektronik di Indonesia, tetapi tidak diimbangi dengan aturan jelas tentang mana yang merupakan produk jurnalistik, dan mana yang bukan.
"Tidak menjadi masalah jika infotainment mengaku dirinya sebagai produk jurnalistik, tetapi syaratnya mereka harus mematuhi kode etik dan standar karya jurnalistik, di antaranya faktual dan objektif, sehingga akan meminimalisir unsur dramatisasi," katanya.
Ia mengatakan infotainment juga harus memperhatikan etika, karena wilayah kerja mereka berada di ruang publik. "Namun kenyataannya infotainment justru sering bermasalah dengan etika dan mengabaikan standar baku berita sebagai sebuah produk jurnalistik, misalnya mengabaikan unsur 5W+1H," katanya.
Ahmad Nyarwi mengatakan apabila dipandang melalui pendekatan institusi, infotainment tidak dapat dikategorikan sebagai kerja jurnalistik, karena diproduksi oleh rumah produksi, bukan institusi pers. "Rumah produksi didirikan dengan menggunakan izin industri hiburan, bukan dengan izin industri pers. Oleh karena itu, tradisi jurnalistik tidak pernah ditekankan oleh rumah produksi," katanya.
Menurut dia, logika dasar yang digunakan infotainment adalah logika bisnis hiburan, sehingga motif utamanya untuk menghibur, bukan memberi informasi.