REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA--Pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Joko Susanto MSc, menilai kampanye antirokok perlu diwaspadai, karena kampanye itu justru digalang oleh produsen nikotin.
"Saya tidak suka rokok, tapi kampanye antirokok itu tidak semata-mata berkaitan dengan kesehatan, sebab ada kepentingan ekonomi global untuk mengubah pola konsumsi nikotin," katanya di Surabaya, Kamis.
Pengamat strategi politik luar negeri dari Unair itu mengemukakan hal tersebut dalam bedah buku "Nicotine War" karya Wanda Hamilton bersama budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dan advokat Gabriel Mahal SH.
Dalam bedah buku yang dipandu sastrawan Lan Fang itu, ia mengatakan kampanye antirokok patut diwaspadai, karena produsen nikotin menargetkan adanya perubahan pola konsumsi nikotin dari rokok kepada obat nikotin.
"Jadi, dari aspek kesehatan sebenarnya tidak ada perubahan, karena itu para ahli kesehatan dan agama juga patut mewaspadai kampanye antirokok itu, karena kampanye itu akan tetap menjerumuskan perokok pada konsumsi nikotin juga," katanya.
Oleh karena itu, katanya, kampanye antirokok yang tidak diwaspadai secara politis akan "membunuh" petani tembakau dan justru akan memperkaya negara-negara maju yang akan memproduksi obat nikotin itu. "Kampanye antirokok itu perlu konsensus, bukan hanya dibilang haram atau merusak kesehatan, karena kampanye antirokok tanpa konsensus akan mudah ditunggangi kepentingan ekonomi global yang 'mematikan' petani kita sendiri," katanya.
Dalam kesempatan itu, advokat Gabriel Mahal SH membantah dirinya pernah menjadi penasihat sebuah perusahaan rokok, namun dirinya justru pernah menjadi konsultan bagi petani tembakau. "Saya perokok dan saya tahu merokok itu ada risikonya, tapi risiko itu ada pada semua barang, bukan hanya rokok, karena itu saya heran mwngapa hanya rokok yang dipersoalkan. Saya yakin ada agenda global di balik kampanye antirokok itu," katanya.
Senada dengan itu, budayawan Cak Nun menyatakan bangsa Indonesia harus jeli dengan polemik rokok, sebab bila polemik itu mengandung banyak kepentingan. "Kita jangan gampang mengeluarkan fatwa haram, apalagi hanya dilakukan sekelompok orang seperti MUI yang bukan perokok. Ada empat hal yang tidak boleh dibisniskan yakni agama, pendidikan, kesehatan, dan budaya," katanya. Bedah buku "Nicotine War" itu digelar di sejumlah kota yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya.