JAKARTA--Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut hukuman tujuh tahun enam bulan penjara kepada mantan Direktur Utama PT Kimia Farma (Persero) Tbk, Gunawan Pranoto, dan Direktur Utama Rifa Jaya Mulia, Rinaldi Yusuf.
"Terdakwa secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi," ujar JPU, Chatarina M Girsang, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kamis (1/4).
Tim jaksa menilai, Gunawan telah terbukti memperkaya orang lain dalam proyek pengadaan alat kesehatan Departemen Kesehatan (Depkes) pada 2003. JPU juga menilai Gunawan dan Rinaldi secara bersama-sama atau sendiri-sendiri memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 104,4 miliar.
JPU juga menuntut Gunawan bersama Rinaldi membayar denda masing-masing senilai Rp 500 juta subsider enam bulan. "Terdakwa II (Rinaldi Yusuf) diharuskan membayar uang pengganti sebesar 26,8 milar, apabila selama satu bulan setelah berkekuatan hukum tetap tidak mampu mambayar, maka diganti hukuman penjara selama lima tahun," kata Chatarina.
Dari hasil penghitungan ahli BPKP, proyek pengadaan alat kesehaan (alkes) untuk rumah sakit daerah tertinggal tersebut telah merugikan negara karena ada mark-up harga sebesar Rp 66 miliar. Selain itu, jaksa juga menuntut adanya perampasan uang dari hasil dugaan korupsi dengan total Rp 50,2 miliar.
Gunawan telah terbukti melakukan korupsi pada proyek pengadaan alkes medik untuk daerah kawasan Indonesia Timur dan Palang Merah Indonesia pada 2003.
Jaksa menuturkan, keduanya mengadakan pendekatan kepada Menteri Kesehatan saat itu, Achmad Sujudi, agar PT Kimia Farma mendapatkan proyek pengadaan barang tersebut. Selanjutnya, proses pengadaan itu juga dilakukan oleh PT Rifa Jaya dengan membentuk konsorsium. Proyek itu sendiri menggunakan dana dari anggaran belanja tambahan daftar isian proyek (ABT-DIP) pada 2003.
Setelah mendapat surat penunjukan langsung, Gunawan dan Rinaldi melakukan rapat dengan jajaran Depkes dengan mengarahkan harga perkiraan sendiri yakni Rp 193,97 miliar. Hal ini bertentangan dengan Kepres No 18/2000 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah.