Senin 15 Dec 2025 18:43 WIB

Surat Terbuka Dewan Profesor Aceh untuk Presiden Prabowo Subianto

Dewan Profesor ingin pemerintah segera menetapkan status darurat kebencanaan nasional

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Prabowo Subianto (kiri) menyapa pengungsi di posko pengungsian korban bencana banir bandang di MAN 1 Langkat, Tanjung Pura, Langkat, Sumut, Sabtu (13/12/2025). Dalam tinjauan tersebut Presiden Prabowo Subianto memberikan dukungan moril kepada korban bencana banjir serta memastikan proses penanganan bencana dipercepat.
Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Presiden Prabowo Subianto (kiri) menyapa pengungsi di posko pengungsian korban bencana banir bandang di MAN 1 Langkat, Tanjung Pura, Langkat, Sumut, Sabtu (13/12/2025). Dalam tinjauan tersebut Presiden Prabowo Subianto memberikan dukungan moril kepada korban bencana banjir serta memastikan proses penanganan bencana dipercepat.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH — Penanganan pascabencana di Provinsi Aceh dinilai lamban dan bertele-tele. Dewan Profesor Universitas Syiah Kuala mendesak Presiden Prabowo Subianto menetapkan provinsi tersebut dalam status darurat kebencanaan nasional.

Dewan para guru besar kampus terbesar di Serambi Mekkah itu pun menegaskan pentingnya bantuan internasional masuk untuk penanganan pascabencana, dan pemulihan di seluruh wilayah Aceh.

Baca Juga

Pada Senin (15/12/2025) Dewan Profesor Universitas Syiah Kuala mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo. Salah satu isinya mengenai permohonan status bencana nasional, dan bantuan internasional tersebut.

Ketua Dewan Profesor, Profesor Izarul Machdar menerangkan ada 11 hal yang menjadi tuntutan kepada pemerintah pusat di Jakarta. Paling utama desakan agar pemerintah segera melakukan pemulihan pembukaan jalur akses transportasi vital.

Terutama, kata Izarul akses langsung ke bandar udara (bandara), pelabuhan-pelabuhan, dan jalan raya lintas darat.

Hal tersebut agar mempermudah masuknya bantuan-bantuan kemanusian internasional yang saat ini tak bisa masuk ke wilayah-wilayah kebencanaan. “Yang kedua, kami meminta agar pemerintah pusat di Jakarta, menetapkan status darurat bencana nasional yang komprehensif,” kata dia, kepada Republika melalui sambungan telefon dari Jakarta, pada Senin (15/12/2025).

Izarul menyampaikan angka meninggal dunia di Aceh ditaksir ribuan jiwa. Korban hilang ratusan jiwa. Ada 332 titik jembatan penghubung antar wilayah yang porak-poranda.

Kondisi itu, kata Izarul, berdampak pada kelambanan distribusi perbantuan untuk warga korban bencana yang berada di gampong-gampong, pun yang berada di titik-titik pengungsian di meunasah-meunasah.  “Kalau untuk status darurat bencana nasional itu memang kita bisa nantinya berdebat panjang sekali,” kata Izarul.

Karena, menurutnya keengganan Presiden Prabowo menetapkan status darurat bencana itu ada dimensi politik. Pun yang terkait dengan gengsi bangsa di muka internasional. Tetapi dari semua itu, Izarul berpendapat bahwa kemanusian mesti lebih diutamakan.

Saat ini bendera-bendera putih sudah dikibarkan di mana-mana oleh masyarakat Aceh sebagai bentuk protes atas penanganan bencana. “Maruah bangsa memang penting, tetapi aspek kemanusian lebih penting. Pemerintah daerah sudah menyatakan menyerah, kita mengharapkan bantuan internasional bisa masuk,” ujar dia.

Sebetulnya, kata Izarul, di luar negeri turut fokus membantu. Akan tetapi birokrasi yang rumit, membuat bantuan-bantuan internasional itu mendok di administrasi.

“Teman-teman kita di Malaysia, teman-teman kita di Singapura, dan di negara-negara lain, sudah siap membawa bantuan. Tetapi ini sepertinya sangat sulit sekali. Dan Pak Gubernur, juga bupati-bupati sudah menyatakan tidak mampu. Tetapi, pusat mungkin punya pertimbangan politik lain, tetapi lupa ada banyak manusia yang meninggal, ada banyak manusia yang masih hilang saat ini,” kata Izarul.

 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Republika Online (@republikaonline)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement