REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM – Kelompok milisi Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dilaporkan terus melakukan pembantaian di Sudan, terutama setelah berhasil menguasai kota el-Fasher belakangan. Catatan pemberitaan menunjukkan ada sokongan Israel terhadap kelompok tersebut.
Konflik yang terjadi di Sudan saat ini tak lepas dari perebutan kekuasaan antara dua jenderal, Abdel Fattah al-Burhan yang memimpin militer Sudan (SAF), dan Muhammad Hamdan Dagalo alias Hemedti yang memimpin kelompok paramiliter Rapid Support Force alias RSF. Kelompok bersenjata ini merupakan kelanjutan dari milisi Janjaweed yang terlibat kekerasan di Darfur pada masa lalu punya catatan kelam sendiri-sendiri.
Konflik terkini, tak lepas dari revolusi populer yang menggulingkan Presiden Omar al-Bashir pada April 2019. Selepas penggulingan itu dibentuk Dewan Kedaulatan Transisi (TSC) yang diisi pihak militer dan sipil.
Di sini kemudian masuk kepentingan geopolitik. Sudan jadi sasaran selanjutnya proyek normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara di Timur Tengah. Amerika Serikat menjanjikan akan menghapus Sudan dari daftar negara teror asal mau berteman dengan Israel. Uni Emirat Arab yang sudah menjalin normalisasi sebelumnya ikut jadi fasilitator.
Sudan menempati posisi penting dalam peta strategis Israel. Tel Aviv memandang Khartoum sebagai pintu gerbang utama untuk memperluas jejaknya di Afrika dan Laut Merah dengan meningkatkan pengaruh regional dan jangkauan logistiknya.
Israel menganggap Sudan sebagai titik penting untuk memantau aktivitas al-Qaeda dan gudang senjata Iran, serta potensi koridor penyelundupan senjata ke faksi-faksi Palestina di Gaza.
Tak sampai setahun setelah penggulingan Bashir, wacana normalisasi mulai digaungkan. Persoalannya, pimpinan sipil kala itu, Abdalla Hamdok Al-Kinani, masih berat hati. Ia mengatakan tak punya hak menyetujui normalisasi mengingat penolakan warga Sudan terhadap hal itu
Israel kemudian berpaling ke militer untuk mencari dukungan. Pada Februari 2020, pimpinan militer Sudan Abdel Fattah al-Burhan dari SAF menemui Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Uganda dan menjanjikan normalisasi tanpa melibatkan Abdalla Hamdok. Para pengamat menilai, Burhan menginginkan normalisasi sebagai jalan untuk memeroleh keuntungan politik.
Bagaimanapun, Israel paham dengan ambisi Muhammad Hamdan Dagalo, yang kala itu masih menjadi wakil al-Burhan. Ia dilaporkan mulai menjalin hubungan dengan Mossad pada 2020. Hubungan ini disebut dilatari kepentingan bisnis Dagalo di berbagai sektor.
The New Arab melansir, pada Agustus 2020 Uni Emirat Arab mengatur pertemuan rahasia yang mempertemukan pemimpin RSF dan kepala agen mata-mata Israel. Dagalo, kala itu dilaporkan tiba dengan pesawat pribadi ke lokasi rahasia di mana dia diduga bertemu dengan pemimpin Mossad Yossi Cohen. Pejabat tinggi Emirat juga hadir, menurut the New Arab, termasuk Penasihat Keamanan Nasional Tahnoun Bin Zayed, saudara laki-laki Putra Mahkota UEA Mohamed bin Zayed Al-Nahyan.
Pembicaraan tersebut diduga mencakup serangkaian rencana bilateral, termasuk pengumuman normalisasi penuh hubungan antara Khartoum dan Tel Aviv, serta kerja sama ekonomi yang lebih luas.