REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengirimkan sinyal menolak kehadiran pasukan Turki di Gaza Palestina. Sebabnya, Israel punya misi mencaplok Gaza secara keseluruhan sebagaimana mereka kini berupaya menganeksasi Tepi Barat.
Kehadiran pasukan Turki di Gaza sangat tidak diharapkan IDF, sebab Turki jauh lebih bereputasi dengan keanggotaan NATO, sesuatu yang tidak dimiliki Israel sampai detik ini.
Dalam sebuah konferensi pers bersama Wakil Presiden AS J.D. Vance, Netanyahu secara tersirat menyampaikan penolakannya terhadap peran militer Turki. Ketika ditanya mengenai ide pasukan keamanan Turki di Gaza, Netanyahu merespons dengan nada retoris, "Kami akan memutuskan bersama tentang itu. Jadi saya punya pendapat yang sangat kuat tentang itu. Ingin menebak apa pendapat saya?", kata Netanyahu didampingi Wapres Amerika JD Vance sebagaimana diberitakan The Times of Israel.
Berikut ini adalah kerugian yang akan diderita Israel jika benar pasukan Turki masuk ke area Gaza dan membantu proses perdamaian di sana, yang dihimpun dari berbagai sumber.
1. Kerugian Militer Langsung, Medan Tempur yang Berubah Total
Selama ini, konflik Israel dan Hamas bersifat sangat asimetris. Israel memiliki keunggulan mutlak dalam segala hal: teknologi (seperti sistem pertahanan udara Iron Dome, pesawat tempur canggih, dan intelijen berbasis satelit), persenjataan yang lebih modern, serta pelatihan pasukan yang standar NATO.
Mereka berhadapan dengan Hamas, yang meskipun tangguh dan berpengalaman dalam perang gerilya, pada dasarnya adalah kelompok bersenjata dengan kemampuan terbatas. IDF terbiasa bermanuver dengan relatif bebas, mengandalkan superioritas teknologi untuk menekan kerugian di pihak mereka sendiri sambil melancarkan serangan yang mematikan.
Dinamika ini seperti petinju profesional yang melawan seorang petarung jalanan yang cerdik—ada tantangan, tetapi ketimpangan kekuatannya sangat jelas.
Kehadiran Tentara Turki akan mengubah permainan ini secara radikal dari perang asimetris menjadi konflik konvensional yang seimbang. Tiba-tiba, Israel akan berhadapan dengan sebuah negara yang juga memiliki angkatan udara dengan jet F-16 yang canggih, sistem pertahanan udara yang mampu menjangkau pesawat mereka, drone berpengalaman seperti Bayraktar yang telah terbukti di medan perang, dan pasukan khusus yang setara bahkan mungkin lebih unggul dalam pertempuran jarak dekat.
Ruang gerak dan keunggulan teknis Israel yang selama ini taken for granted akan langsung hilang. Perang tidak lagi tentang "menekan serangan roket dan membasmi teroris," tetapi tentang menghadapi barisan artileri, tank, dan pasukan reguler yang siap bertempur dalam perang skala penuh. Situasinya berubah dari operasi polisi militer menjadi perang antarnegara yang sesungguhnya, dengan segala risiko dan biaya yang jauh lebih besar bagi Israel.
2. Perang Konvensional yang Tidak Diinginkan
IDF akan berhadapan dengan angkatan darat yang besar, terlatih, dan memiliki teknologi modern. Ini bukan lagi perang asimetris melawan gerilyawan, tapi perang konvensional sesungguhnya yang akan memakan biaya dan korban jauh lebih besar.
3. Kekuatan Udara Terkekang
Keunggulan utama Israel, Angkatan Udara, akan menghadapi ancaman nyata. Turki memiliki sistem pertahanan udara canggih (seperti Hisar-A/O) dan drone berpengalaman (Bayraktar TB2) yang bisa menjatuhkan pesawat Israel dan menghancurkan posisi artileri. Ruang gerak jet-jet F-16 dan F-35 Israel tidak akan bebas lagi.