REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Lamhot Sinaga mendorong pemerintah menyusun regulasi yang dapat menumbuhkan industri perfilman nasional.
Lamhot menyoroti Korea Selatan yang berhasil menjadikan film sebagai sebagai komoditas ekspor utama. Setelah krisis finansial Asia pada 1997-1998, pemerintah Korea melihat potensi besar dari industri hiburan, termasuk film dan drama, untuk memulihkan perekonomian.
Mereka memberikan dukungan finansial yang signifikan melalui lembaga seperti Dewan Film Korea (KOFIC) yang menyediakan insentif pajak dan pendanaan untuk produksi film. Selain itu, pemerintah juga mendirikan berbagai lembaga yang fokus pada pengembangan konten, promosi, dan ekspor budaya, memastikan industri film tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang pesat di pasar global.
Di samping dukungan pemerintah, industri film Korea Selatan juga didorong oleh munculnya platform digital dan strategi pemasaran yang cerdas. Kolaborasi dengan layanan streaming global seperti Netflix membuka pintu bagi film dan drama Korea untuk menjangkau audiens internasional secara masif, seperti yang terjadi pada serial Squid Game dan film peraih Oscar, Parasite.
Pemasaran yang efektif dan penggunaan media sosial yang masif memungkinkan industri ini membangun komunitas penggemar global, atau yang dikenal sebagai Hallyu, yang tidak hanya mengonsumsi konten tetapi juga menjadi duta budaya.
Selain itu, kualitas konten yang tinggi dan keragaman genre menjadi daya tarik utama bagi penonton. Para pembuat film Korea berani mengeksplorasi cerita-cerita yang kompleks dan orisinal, dari melodrama, komedi, hingga film horor yang menegangkan.
Mereka memiliki tradisi perfilman yang kuat dan kompetitif, yang terus mendorong inovasi dan kualitas. Didukung oleh infrastruktur teknologi yang maju, termasuk konektivitas internet cepat, Korea Selatan menjadi lahan yang ideal untuk eksperimen konten hiburan baru, yang pada akhirnya memicu pertumbuhan industri yang berkelanjutan dan mendunia.
Menurut dia, hal itu membutuhkan dukungan serius dari pemerintah, terutama untuk rumah produksi yang masih merintis. “Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, tentu harus direvisi karena saya yakin saat ini regulasi tersebut tidak mampu sepenuhnya menjawab tantangan yang dihadapi. Sebab, zamannya sudah berubah drastis,” kata dia dalam keterangan diterima di Jakarta, Rabu.