REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum The Jakmania Diky Soemarno menilai kegagalan timnas Indonesia dalam upaya lolos ke putaran berikutnya Piala Dunia 2026 bukanlah akhir dari perjalanan panjang sepak bola nasional. Ia menegaskan, hasil tersebut harus dilihat sebagai bagian dari proses menuju target besar dalam roadmap Garuda Mendunia 2045.
“Buat saya, kegagalan kali ini bukan akhir, tapi bagian dari proses panjang. Dalam roadmap Garuda Mendunia 2045, target lolos ke Piala Dunia itu 2038, artinya kita masih di jalur yang benar asal konsisten,” ujar Diky kepada Republika.co.id, Rabu (15/10/2025).
Ia menilai PSSI perlu memperkuat fondasi pembinaan usia muda dan membangun filosofi bermain yang jelas agar arah pengembangan tim nasional lebih terukur. Sebagai suporter, Diky menilai dukungan terhadap timnas tidak boleh berhenti pada euforia kemenangan semata, melainkan juga menjaga semangat dan atmosfer positif di setiap fase.
Menurut dia, sepak bola adalah perjalanan panjang yang membutuhkan sinergi antara semua elemen. PSSI, klub, pemain, dan suporter, kata Diky, harus saling berinteraksi dan memahami peran masing-masing agar visi jangka panjang dapat tercapai.
Diky menilai, komposisi timnas saat ini sebenarnya sudah cukup solid. Kombinasi pemain muda dan senior dianggap seimbang, dan dapat menjadi fondasi penting menuju target jangka menengah, yakni Piala Dunia 2030 dan 2034. Ia berharap PSSI tidak terburu-buru melakukan perombakan besar dalam tubuh timnas.
Diky mengatakan, stabilitas sangat dibutuhkan agar tim dapat tumbuh bersama. Ia mengingatkan agar federasi memberi waktu bagi pelatih dan pemain untuk berkembang secara berkelanjutan. Menurutnya, kesinambungan menjadi kunci bagi pembangunan tim nasional yang kuat.
“Saya rasa bukan soal perlu atau tidaknya perombakan total, tapi soal seberapa berani federasi melakukan pembenahan nyata dari dalam. Dua tahun terakhir memang ada kemajuan, baik di prestasi timnas, pembenahan wasit, kehadiran VAR, maupun geliat sepak bola putri meski belum ada kompetisi regulernya. Itu patut diapresiasi,” kata Diky.
Meski demikian, ia menyoroti masih adanya masalah klasik di tubuh federasi, seperti minimnya transparansi, lemahnya komunikasi, dan ketidakkonsistenan kebijakan. Publik, menurut Diky, kerap hanya disuguhi hasil akhir tanpa diajak memahami proses yang melatarbelakanginya. Padahal, kepercayaan terhadap federasi dibangun dari keterbukaan dan profesionalisme.
Dalam konteks itu, Diky mengingatkan agar PSSI tidak larut dalam pencitraan dan lebih fokus membenahi hal-hal fundamental dalam pengelolaan sepak bola nasional.
“Sebagai suporter, kami cuma ingin lihat PSSI kerja dengan arah yang jelas. Dua tahun ke depan waktunya memastikan fondasi sepak bola ini benar-benar kuat dari bawah. Banyak hal baik sudah dimulai, tapi jangan berhenti di pencitraan. Yang dibutuhkan sekarang bukan tepuk tangan, tapi keberanian untuk membenahi hal yang masih salah mulai dari pembinaan, kompetisi, sampai tata kelola,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya keberlanjutan program dan keberanian PSSI untuk memperbaiki sistem, bukan sekadar aspek teknis. Reformasi sepak bola, kata dia, seharusnya menyentuh kultur dan tata kelola agar perubahan yang terjadi bersifat mendasar.
Menutup perbincangan, Diky menyerukan agar federasi lebih banyak mendengarkan berbagai pihak dalam ekosistem sepak bola nasional.
“Saran saya untuk PSSI sederhana sekali, yaitu mulai dengarkan lebih banyak, bukan hanya bicara lebih sering. Sepak bola harus dikelola seperti kepercayaan—karena sekali hilang, membangunnya lagi butuh waktu lama. Suporter bisa memaafkan kekalahan, tapi sulit memaafkan arah yang salah,” ujar Diky menegaskan.
View this post on Instagram