REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA, – Ahmad Novindri Aji Sukma, peneliti dari Universitas Cambridge, mengusulkan agar Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) memberikan perlindungan kuat bagi whistleblower atau pelapor tindak pidana. Usulan ini disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Selasa.
Ahmad menyoroti bahwa perlindungan terhadap whistleblower belum diakui dalam prosedur acara, meskipun mereka sering kali menjadi kunci dalam mengungkap kasus korupsi dan kejahatan. Ia menekankan pentingnya adanya kanal pelaporan yang aman, larangan pembalasan yang tegas, anonimisasi, serta tata cara pemeriksaan jarak jauh untuk melindungi identitas pelapor.
Ahmad mengusulkan perlunya bab khusus dalam RUU KUHAP yang menetapkan definisi whistleblower, mekanisme anti-pembalasan, kerahasiaan identitas, dan pemeriksaan jarak jauh. Hal ini bertujuan agar pelapor berani melapor dengan bukti yang kuat tanpa takut dikriminalisasi atau diintimidasi.
Selama ini, menurut Ahmad, salah satu kelemahan serius dalam pengaturan acara tindak pidana adalah kurangnya perlindungan saksi dan pelapor. "Kita sering melihat whistleblower justru dikriminalisasi balik, padahal mereka beriktikad baik melaporkan pelanggaran," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR, Dede Indra Permana, menyatakan bahwa pembahasan RUU KUHAP akan berlanjut hingga masa sidang selanjutnya. Komisi III DPR berkomitmen untuk menyerap aspirasi masyarakat secara maksimal terkait KUHAP untuk memastikan tidak ada pihak yang terabaikan.
Konten ini diolah dengan bantuan AI.