Kamis 18 Sep 2025 05:19 WIB

Pleidoi Zara, Bahkan Terdakwa Mengaku Jadi Korban Sistem Senioritas di PPDS Undip

Zara Yupita Azra menyatakan tak bertanggung jawab langsung atas kematian Aulia Risma.

Rep: Kamran Dikarama/ Red: Andri Saubani
Zara Yupita Azra, senior sekaligus terdakwa dalam kasus dugaan perundungan dan pemerasan almarhumah Aulia Risma Lestari, mahasiswi PPDS Anestesia Undip, diperiksa dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (6/8/2025).
Foto: Kamran Dikarma/Republika
Zara Yupita Azra, senior sekaligus terdakwa dalam kasus dugaan perundungan dan pemerasan almarhumah Aulia Risma Lestari, mahasiswi PPDS Anestesia Undip, diperiksa dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (6/8/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Zara Yupita Azra, mahasiswi PPDS Anestesia Universitas Diponegoro (Undip) yang menjadi terdakwa dalam kasus kematian almarhumah Aulia Risma Lestari, dalam pleidoinya, menyebut tak bertanggung jawab langsung atas kematian Aulia Risma. Zara pun mengeklaim turut menjadi korban dari sistem senioritas di PPDS Anestesia Undip.

"Dokter Aulia Risma almarhum meninggal dunia bukan karena perbuatan dokter Zara Yupita Azra," ujar kuasa hukum Zara, Joshua Mendrova, saat membacakan pleidoi untuk kliennya di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (17/9/2025).

Baca Juga

Joshua mengungkapkan, dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum (JPU) menyebut bahwa praktik senioritas di PPDS Anestesia Undip yang mewujud dalam bentuk "Pasal Anestesi" dan "Tata Krama Anestesi" menimbulkan dampak buruk terhadap almarhumah Aulia Risma. JPU menilai, kekerasan psikis yang dialami Aulia Risma menjadi pemicu kematiannya.

Menurut Joshua, dalil JPU tidak berdasar pada fakta. Joshua mengatakan, Zara menjadi kakak pembimbing Aulia pada Juli-November 2022. Setelah itu, Zara menjadi kakak pembimbing bagi mahasiswa lainnya yang bernama Kalika Firdaus.

"Dokter Aulia Risma meninggal pada Agustus 2024, sehingga tidak ada korelasi antara perbuatan terdakwa tahun 2022 dengan kematian almarhum dokter Aulia Risma," kata Joshua.

photo
Tiga terdakwa kasus kematian Aulia Risma Lestari, mahasiswi PPDS Anestesia Undip, menjalani persidangan dengan agenda penuntutan di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (10/9/2025). - (Kamran Dikarma/ Republika)

Joshua kemudian membahas tentang iuran angkatan yang dihimpun mahasiswa semester I PPDS Anestesia Undip yang berkisar antara Rp15-Rp20 juta per bulan. Dana dari iuran tersebut kemudian digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan rumah tangga PPDS Anestesia Undip, termasuk penyediaan makan prolong untuk seluruh residen dan dokter penanggung jawab pelayanan di RSUP Dr.Kariadi, serta upah joki pengerjaan tugas akademik senior.

"Mengenai pembiayaan makan prolong, pengerjaan tugas, dan lain sebagainya, oleh mahasiswa PPDS Anestesi semester I sudah terjadi setidaknya sejak 2004, turun temurun hingga 2024. Dokter Zara Yupita Azra selaku mahasiswa semester II pada periode Juni-Desember 2022 tidak memiliki niatan selain untuk mengikuti arahan seniornya Angkatan 75 untuk mengoperkan hal tersebut kepada mahasiswa Angkatan 77," ucap Joshua.

Oleh sebab itu, Joshua menyebut tidak ada fakta atau bukti yang menunjukkan Zara memerintahkan mahasiswa PPDS Anestesia Undip Angkatan 77 untuk menghimpun iuran angkatan hingga Rp20 juta per bulan.

"Di dalam fakta persidangan tidak ditemukan fakta bahwa terdakwa Zara Yupita Azra secara berulang kali melakukan tindakan memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga membuat mahasiswa Angkatan 77 mengeluarkan uang untuk membayar iuran angkatan pada semester I sebagaimana dakwaan," kata Joshua.

Dia menambahkan, pihak yang seharusnya dimintai pertanggung jawaban adalah mahasiswa PPDS Anestesia Angkatan 71 dan 72 yang dalam kasta mahasiswa tergabung dalam Chief of Chief (COC) dan Dewan Suro. "Namun pada kenyataannya terdakwa Zara sebagai mahasiswa junior dipersalahkan atas perbuatan yang menjadi kesalahannya," ujarnya.

"Bahwa terdakwa yang merupakan mahasiswa Angkatan 76, berdasarkan fakta persidangan, sepatutnya dipandang sebagai korban dari sistem PPDS Anestesi yang sudah berjalan setidak-tidaknya dari awal tahun 2000-an; di mana terdakwa pada semester I juga membayar makan prolong, membayar joki untuk mengerjakan tugas senior, dan juga membayar iuran BOP sebesar Rp80 juta," tambah Joshua.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement