Jumat 12 Sep 2025 16:01 WIB

Pesta Pora Perusahaan Senjata dan Menuju Kepunahan Bangsa Palestina

Palestina terancam mengalami kehilangan generasi penerus.

Sholat jenazah korban serangan Israel di Qatar.
Foto: Dok Istimewa
Sholat jenazah korban serangan Israel di Qatar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di bawah langit yang dipenuhi asap dan debu, tawa anak-anak Palestina semakin jarang terdengar. Perang yang tak kunjung usai mengubah masa kecil mereka menjadi mimpi buruk panjang. September 2025, masih belum membawa keceriaan buat mereka.

Data terbaru Kementerian Pendidikan Tinggi Palestina mencatat, sejak agresi militer Israel dimulai pada 7 Oktober 2023, sedikitnya 18.489 pelajar tewas dan 28.854 lainnya terluka di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Baca Juga

Dari jumlah itu, lebih dari 18.346 pelajar gugur di Gaza dan hampir 1.000 anak di Tepi Barat turut menjadi korban. Tak hanya itu, 740 pelajar ditahan tanpa proses hukum yang jelas. Tragedi ini tidak berhenti pada siswa. Sebanyak 970 guru dan tenaga sekolah tewas, lebih dari 4.500 terluka, dan ratusan lainnya ditahan.

Infrastruktur pendidikan pun luluh lantak Tercatat oleh Kementerian Pendidikan itu, 160 sekolah negeri di Jalur Gaza rata dengan tanah, 63 bangunan universitas hancur, dan 25 sekolah hilang bersama siswa serta gurunya. Di Tepi Barat, setidaknya 152 sekolah rusak dan delapan universitas kerap diserbu atau dirusak militer Israel.

Untuk tetap melanjutkan program pendidikan bagi generasi muda, pemerintah Palestina mencoba beradaptasi dengan sistem daring. Namun itu pun teramat sulit dilakukan karena ketiadaan energi seperti listrik yang kini padam, internet terputus, dan hampir seluruh keluarga di Jalur Gaza dan Tepi Barat harus berjuang mempertahankan hidup bahkan hanya untuk makan sekali sehari. Bagaimana mungkin anak-anak belajar dalam kondisi seperti itu?

Dampak sistemik dan lost generation

Di Gaza, lebih dari sejuta anak kini hidup tanpa akses stabil terhadap makanan, air bersih, dan layanan kesehatan.

Dana anak-anak PBB (UNICEF) memperingatkan bahwa kondisi itu bisa menimbulkan malnutrisi akut dan kematian massal. Setiap hari, rumah sakit menerima anak-anak yang terluka akibat serangan udara dan pemboman Israel, sementara ruang kelas berubah menjadi tempat pengungsian.

Di Tepi Barat, wajah ancaman berbeda. Anak-anak menghadapi kekerasan pemukim, penahanan tanpa dakwaan, serta penggusuran rumah. Trauma kolektif pun tumbuh subur.

Anak-anak menyaksikan orang tua mereka dianiaya, diusir dan ditangkap tentara Israel. Teman-teman mereka satu per satu ditahan tanpa kejelasan, dan ruang bermain berubah menjadi ladang konflik. Semua itu menyisakan generasi muda dengan luka batin dan trauma mendalam.

Pendidikan adalah fondasi peradaban. Pendidikan bukan sekadar mengajarkan baca, tulis, dan berhitung, melainkan pintu menuju mobilitas sosial, penguatan jati diri bangsa, kreativitas dan inovasi, serta pembentukan stabilitas ekonomi, politik, sosial dan budaya. Ketika sekolah hancur, generasi muda akan kehilangan banyak akses, memudar kesempatan kuliah, minim keterampilan dasar dan kerja yang layak, serta runtuhnya produktivitas.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement