Selasa 26 Aug 2025 00:45 WIB

Pemerintah Lanjutkan Pengakuan Hutan Adat di Sipora Meski Ada Sengketa

Pemerintah terus memproses pengakuan hutan adat di Pulau Sipora, Mentawai, meskipun terdapat tumpang tindih dengan izin konsesi PT SPS.

Rep: antara/ Red: antara
Pemerintah melanjutkan proses hutan adat di Sipora di tengah sengketa SPS.
Foto: antara
Pemerintah melanjutkan proses hutan adat di Sipora di tengah sengketa SPS.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA, – Pemerintah tetap melanjutkan proses pengakuan hutan adat di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, meskipun terdapat tumpang tindih dengan permohonan izin konsesi yang diajukan oleh PT Sumber Pertama Sipora (SPS).

Julmansyah, Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat Kementerian Kehutanan, menjelaskan pada Senin bahwa dua komunitas adat di Pulau Sipora — Uma Sakerebau Mailepet dan Uma Sibagau — memulai proses pengajuan pengakuan hutan adat sejak tahun 2017.

Pengakuan hutan adat tersebut tumpang tindih dengan 6.937 hektare dari 20.710 hektare yang diajukan oleh SPS untuk Forest Utilization Business Permits (PBPH), ungkapnya.

Julmansyah mencatat bahwa proses ini telah berlangsung cukup lama, meskipun kementerian baru mulai menanganinya beberapa bulan lalu. "Kami tidak menghentikannya, tetapi kami menundanya sementara karena ada beberapa hal yang harus diselesaikan dengan rekan-rekan di Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL)," katanya.

Pejabat kementerian telah bertemu dengan komunitas adat dan pemerintah daerah di Kepulauan Mentawai terkait proses ini. Mereka juga sedang menyiapkan draf dokumen untuk pembentukan tim terpadu yang akan memverifikasi usulan hutan adat.

"Dari hasil verifikasi dan kerja tim, kami akan menentukan bagian dari sekitar 6.900 hektare area yang tumpang tindih yang akan disetujui oleh tim terpadu. Ada potensi untuk peningkatan dan penurunan," jelas Julmansyah.

Saparis Soedarjanto, sekretaris PHL, menyatakan bahwa kantornya belum mengeluarkan PBPH untuk SPS karena beberapa tahapan masih tertunda. Tahapan tersebut meliputi penyusunan koordinat geografis dari area kerja, persetujuan dokumen lingkungan termasuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan pembayaran iuran PBPH.

Namun, ia mengonfirmasi bahwa konsolidasi telah dilakukan terkait tumpang tindih antara area usulan hutan adat dan area yang diajukan untuk PBPH.

"Ini yang akan kami pertimbangkan nanti, termasuk penerbitan izin. Jika kebijakan memprioritaskan hutan adat, maka itulah yang akan terjadi," ujar Soedarjanto.

Sebelumnya, komunitas Pulau Sipora mengumumkan penolakan mereka terhadap penerbitan PBPH di kawasan hutan. Area yang diusulkan oleh SPS seluas 20.710 hektare mencakup 33,66 persen dari daratan Pulau Sipora, yang termasuk hutan adat yang dikelola oleh masyarakat setempat.

Keberatan juga disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil dalam pertemuan konsultasi publik di Badan Lingkungan Hidup Sumatera Barat pada 22 Mei, sebagai bagian dari proses yang harus dilalui SPS untuk mendapatkan AMDAL.

Konten ini diolah dengan bantuan AI.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement