Sabtu 26 Jul 2025 14:51 WIB

Gus Khozin DPR tak Setuju Sound Horeg Dilarang, Cukup Diatur

Bisa saja peraturan kepala daerah, surat edaran atau perubahan perda.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Rombongan karnaval di Kecamatan Cluwak, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menggunakan sound horeg.
Foto: ANTARA/Akhmad Nazaruddin Lathif
Rombongan karnaval di Kecamatan Cluwak, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menggunakan sound horeg.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin menilai, fenomena sound horeg atau sistem pengeras suara ukuran besar yang marak di sejumlah daerah membutuhkan pengaturan, bukan pelarangan. Sound horeg kini menjadi salah satu hiburan dan selalu terlibat karnaval di Provinsi Jawa Timur (Jatim) dan Jawa Tengah (Jateng).

Gus Khozin, sapaan akrabnya, menyebut, pengaturan sound horeg perlu memerhatikan berbagai aspek, mulai dari aspek yuridis, sosiologis, hingga filosofis. "Penggunaan sound horeg perlu pengaturan, bukan pelarangan. Banyak aspek yang harus menjadi pertimbangan," katanya dalam keterangan pers di Jakarta, Sabtu (26/7/2025).

Gus Khozin mengatakan, bentuk pengaturan sound horeg dapat berupa peraturan maupun panduan yang diterbitkan oleh pemerintah, khususnya di tingkat daerah, seperti gubernur, bupati, dan wali kota. Pengaturan menjadi lebih tepat daripada pelarangan.

"Bisa saja peraturan kepala daerah, surat edaran atau perubahan terhadap peraturan daerah (perda) yang selama ini eksis, seperti Perda Penyelenggaraan Ketertiban yang hampir semua pemda memilikinya," ujar politikus PKB tersebut.

Dia menyebut, pengaturan tersebut dimaksudkan untuk memotret fenomena sound horeg yang berdampak pada aspek ekonomi, khususnya pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta hiburan. "Namun sound horeg juga menimbulkan persoalan di tengah masyarakat. Pada poin inilah relevansi pengaturannya," ucap Gus Khozin.

Anggota DPR RI Daerah Pemilihan (Dapil) Jatim IV itu menuturkan, isi pengaturan sound horeg dapat mencakup radius penyelenggaraan kegiatan dari permukiman warga. Misalnya di tempat pertunjukan khusus atau di tempat terbuka, prosedur perizinan, besaran desibel dengan pertimbangan kesehatan telinga, serta kegiatan tidak terdapat unsur pornografi atau pornoaksi.

"Pemda harus arif dalam merespons aspirasi yang muncul, termasuk dari fatwa MUI ini dengan meminimalisasi mafsadat (akibat buruk) dan mengoptimalkan manfaat," tutur Gus Khozin.

Menurut dia, fatwa MUI Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2025 dapat menjadi rujukan bagi pemerintah daerah dalam merumuskan pengaturan mengenai penggunaan sound horeg. "Karena fatwa ditinjau dari pelbagai perspektif bahkan melibatkan kedokteran spesialis THT. Jadi, tidak perlu diperdebatkan fatwa MUI," kata Gus Khozin.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement