REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS – Sejak tumbangnya Bashar al-Assad, Israel terus melakukan serangan ke Suriah dengan alasan membela komunitas minoritas Druze di selatan sengara itu. Ini ternyata pola lama yang telah dijalankan Israel, menggunakan minoritas sebagai dalih melemahkan negara yang disasar.
Aljazirah Arabia menjelaskan, taktik ini mulanya terungkap dalam buku, “A Mossad Agent In Southern Sudan: 1969-1971” yang ditulis perwira intelijen Israel David Ben-Uziel pada 2021. Dalam buku itu ia mengungkapkan rincian operasi rahasia yang dilakukan Israel untuk mendukung pemberontak Anyanya di Sudan Selatan selama pemberontakan tahun 1960-an yang kemudian dikenal sebagai “Perang Saudara Sudan Pertama.”
Ben-Uziel, yang dikenal dengan nama samaran “Tarzan” di dinas intelijen, menjelaskan bahwa dukungan ini mencakup transfer senjata canggih dan peralatan komunikasi kepada para pemberontak, di samping pelatihan para pejuang gerakan tersebut oleh tim perwira Israel. Dukungan ini juga meluas ke perencanaan operasi sabotase, termasuk pengeboman jembatan dan penenggelaman kapal-kapal pasokan, serta penyergapan yang menargetkan unit-unit tentara Sudan.
Buku ini menyajikan pemisahan diri Sudan Selatan pada 2011 sebagai keberhasilan Mossad, dan pencapaian operasi Israel selama beberapa dekade di mana Israel mendukung pemberontakan di Sudan Selatan dan membangun kekuatan militer dan bahkan kekuatan ekonomi separatis selatan.
Selain itu, dalam sebuah wawancara dengan Yedioth Ahronoth, Ben-Uziel mengindikasikan bahwa tujuan utama aliansi dengan Anyanya adalah untuk “menguras kemampuan Khartoum dan mendorongnya untuk memusatkan kekuatannya ke arah selatan, menjauh dari arena konfrontasi Arab dengan Israel.”

Dukungan ini pada dasarnya adalah eksploitasi etnis minoritas dan digunakan sebagai alat untuk menekan negara Arab di wilayah tersebut. Ini merupakan penerapan awal dari “doktrin pinggiran”, yang dirumuskan oleh David Ben-Gurion dan penasihatnya, Eliyahu Sasson, pada awal tahun 1950-an.
“Doktrin pinggiran” didasarkan pada strategi ganda yang mengepung wilayah tersebut dengan dua sabuk ketegangan. Yang pertama bertujuan untuk memperburuk hubungan antara negara-negara Arab dan tetangga-tetangga regional mereka (terutama negara-negara Islam non-Arab), sehingga menyibukkan negara-negara ini dengan konflik-konflik yang jauh dari Israel dan menguras sumber daya mereka dalam konflik-konflik sampingan.
Sabuk kedua didasarkan pada eksploitasi minoritas di Timur Tengah, terutama yang berada di sekitar Palestina, dengan memisahkan mereka dari komunitas mereka dan menghubungkan mereka dengan persamaan keamanan Israel, yang mendorong mereka untuk bersekutu dengan Tel Aviv, di bawah tekanan ketakutan yang telah disulut oleh Israel sejak awal.