REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Job Fair yang berlangsung di Bekasi pada Selasa (27/5/2025) berakhir tak kondusif. Membludaknya para pelamar yang ingin mencari pekerjaan membuat job fair menjadi ricuh. Ada lebih dari 25 ribu pelamar yang memperebutkan 2.000 lowongan yang tersedia.
Menanggapi hal itu, ekonom Bhima Yudhistira Adhinegara menilai kondisi tersebut merupakan bentuk kegagalan penyelenggara, yang mestinya diberi sanksi karena menimbulkan kerugian.
“Job fair di Bekasi yang salah adalah penyelenggara job fair-nya. Sudah tahu tingkat pengangguran sedang tinggi, PHK juga masif, terutama di kawasan industri banyak yang mencari pekerjaan, tapi job fair tidak dipersiapkan dengan matang sehingga menimbulkan kericuhan,” ujar Bima yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) dalam diskusi Celios bertajuk ‘Sebenarnya Ada Berapa Juta Orang Miskin dan Menganggur di Indonesia?’, Rabu (27/5/2025).
Menurut Bhima, para pelamar kerja di event tersebut mengalami sejumlah kerugian akibat tidak matangnya persiapan dari penyelenggara job fair. Job fair tersebut diketahui digelar oleh Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi.
“Kalau perlu, penyelenggara job fair dikenakan sanksi karena sudah menimbulkan kerugian. Kerugian dari segi waktu, orang antre panjang, kerugian dari sisi biaya, kerugian dari segi kesehatan, sampai ada yang berdesak-desakan dan pingsan,” ujar dia.
Bhima mengatakan, kejadian tersebut membuktikan bahwa pemerintah tidak serius dalam mempersiapkan cara dalam memfasilitasi agar para pencari kerja bisa dengan nyaman mendapatkan pekerjaan. Padahal, menurut dia, ada cara lain yang bisa dilakukan dengan menciptakan situasi yang kondusif.
“Job fair tidak perlu harus kumpul di satu tempat begitu. Job fair juga bisa dengan pendataan yang valid dan akurat dari mereka yang misalnya lulus fresh graduate kemudian belum mendapat pekerjaan, atau mereka yang menjadi korban PJK yang datanya sekarang ada di BPJS Ketenagakerjaan yang mengajukan klaim misalnya, itu seharusnya bisa menjadi data basis untuk ditangkap oleh pemerintah daerah atau pemerintah pusat, sehingga pendataan bisa dicocokkan,” tuturnya.
Bhima menyebut, dengan adanya data tersebut, semestinya bisa menjadi petunjuk untuk memetakan peluang dan kebutuhan. Misalnya, industri di kawasan Bekasi, Cikarang, dan sekitarnya dipetakan untuk menemukan tenaga kerja-tenaga kerja yang dibutuhkan.
“Jadi job fair tidak harus selalu berbentuk fisik, orang melamar kerja berduyun-duyun begitu. Itu kuno sekali,” ungkapnya.
Adapun teknisnya, menurutnya, job fair bisa dilakukan secara online. Ia mencontohkan, China –yang juga memiliki jumlah penduduk banyak dengan turut menghadapi masalah pengangguran-, memanfaatkan teknologi dalam pengadaan event job fair.
“Dengan perkembangan teknologi, orang enggak perlu berdesak-desakan, karena sekarang lapangan kerja juga bisa dilakukan melalui aplikasi, online, website, bahkan ada yang membuka lapangan kerja lewat sosial media,” kata dia.