Selasa 27 May 2025 20:07 WIB

KRIS Ancam Kurangi Akses Layanan JKN, Pemerintah Diminta Lakukan Evaluasi

Rumah sakit masih berupaya menyesuaikan dengan 12 indikator KRIS.

Petugas melayani masyarakat di Kantor BPJS Kesehatan Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (14/5/2024). Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo resmi mengeluarkan aturan tentang Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) di BPJS Kesehatan sebagai upaya meningkatkan standar kualitas pelayanan di kesehatan bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akan berlaku paling lambat 30 Juni 2025.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Petugas melayani masyarakat di Kantor BPJS Kesehatan Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (14/5/2024). Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo resmi mengeluarkan aturan tentang Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) di BPJS Kesehatan sebagai upaya meningkatkan standar kualitas pelayanan di kesehatan bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akan berlaku paling lambat 30 Juni 2025.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang diberlakukannya kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) pada 1 Juli 2025, terdapat kekhawatiran mendalam terhadap kesiapan fasilitas kesehatan dan potensi dampak kebijakan ini terhadap layanan bagi peserta JKN dari berbagai pihak.

KRIS yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 pelaksanaannya dinilai belum disertai kesiapan menyeluruh dari sisi regulasi, infrastruktur, pembiayaan, dan operasional di rumah sakit.

Pada Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi IX DPR, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Muttaqien mengingatkan implementasi KRIS harus dilakukan secara hati-hati dan bertahap.

Dalam monitoring dan evaluasi DJSN terhadap kesiapan rumah sakit, Senin (26/5/2025), ditemukan berbagai kendala seperti kelembapan ruangan, pencahayaan minim, ventilasi tak memadai, dan belum adanya outlet oksigen di beberapa kamar perawatan.

“Rumah sakit masih berupaya menyesuaikan dengan 12 indikator KRIS. Tidak semua RS memiliki anggaran dan kapasitas untuk perbaikan infrastruktur dalam waktu singkat,” ujar Muttaqien.

Muttaqien juga menekankan implementasi KRIS harus mempertimbangkan ketahanan Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, kemampuan fiskal negara, serta daya beli dan daya serap masyarakat terhadap perubahan manfaat dan iuran.

Kebijakan ini tidak boleh berdampak pada meningkatnya beban peserta JKN atau menurunnya mutu layanan.

Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Bambang Wibowo menegaskan berdasarkan data Kementerian Kesehatan, baru sekitar 39,6 persen dari total 2.443 rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dalam memenuhi 12 kriteria KRIS.

Hal ini menunjukkan mayoritas rumah sakit belum siap secara infrastruktur dan sumber daya untuk menerapkan KRIS sesuai standar yang ditetapkan.

“Kita tidak bisa memaksakan implementasi KRIS jika kesiapan rumah sakit masih rendah. Yang paling terdampak adalah peserta JKN sendiri jika akses layanan terganggu atau kualitas layanan menurun. Kami mendorong pemerintah untuk menunda penerapan KRIS hingga kesiapan menyeluruh tercapai, dan ada kajian komprehensif terkait dampaknya terhadap layanan dan keberlangsungan rumah sakit,” ujar Bambang.

Bambang juga menyampaikan dengan batasan maksimal empat tempat tidur per kamar rawat inap, akan terjadi pengurangan jumlah tempat tidur bagi peserta JKN, terutama di rumah sakit kelas A dan B.

Penurunan kapasitas ini berpotensi menyebabkan antrean layanan, peningkatan bed occupancy rate (BOR), hingga penolakan pasien di kondisi tertentu.

"Dari hasil survei yang dilakukan PERSI pada September 2024, mengindikasikan penyesuaian terhadap standar KRIS akan menyebabkan penurunan jumlah tempat tidur terutama di rumah sakit kelas A dan kelas B. Padahal, rumah sakit kelas ini justru menjadi rujukan utama bagi pasien JKN dengan kebutuhan layanan spesialis dan subspesialis," terang Bambang.

Hal serupa juga dikemukakan Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Pusat, Iing Ichsan Hanafi yang menyoroti dampak KRIS dari sisi rumah sakit swasta.

Ia menjelaskan, saat ini sekitar 69,7 persen rumah sakit di Indonesia merupakan rumah sakit swasta, dan lebih dari 2.000 di antaranya telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

“Mayoritas dari manajemen rumah sakit menghadapi tantangan berat dalam menyesuaikan infrastruktur dan ruang rawat inap sesuai standar KRIS. Pemenuhan 12 kriteria KRIS tidak hanya membutuhkan waktu, tetapi juga investasi besar. Tidak seperti rumah sakit subsidi/pemerintah, akan banyak rumah sakit swasta yang terancam putus kerja sama dengan BPJS jika dipaksa menjalankan KRIS dalam kondisi belum siap,” ungkap Iing.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement