REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Guru Besar Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Mailinda Eka Yuniza menilai Indonesia berpeluang memanfaatkan cadangan nikel yang melimpah untuk memperkuat posisi tawar menghadapi kebijakan tarif Amerika Serikat (AS).
"Indonesia yang memiliki 34 persen cadangan nikel dunia telah memberi sinyal kemungkinan akan menggunakan mineral penting sebagai alat tawar dalam menghadapi tarif tersebut," ujar Mailinda dalam keterangannya di Yogyakarta, Senin.
Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, diperkirakan mencapai 5,3 miliar ton bijih atau 56,12 juta ton logam nikel. Wilayah Maluku Utara memiliki cadangan bijih nikel terbanyak, yaitu 1,87 miliar ton, diikuti Sulawesi Tengah yang juga merupakan daerah penghasil nikel terbesar.
Nikel berperan penting dalam industri kendaraan listrik, khususnya sebagai bahan baku baterai. Nikel digunakan dalam pembuatan baterai lithium-ion, yang merupakan jenis baterai paling umum digunakan pada kendaraan listrik modern. Nikel membantu meningkatkan kepadatan energi dan daya tahan baterai.
Baterai lithium-ion pada kendaraan listrik seringkali menggunakan nikel sebagai bagian dari katoda, bersama dengan kobalt dan mangan (NMC). Komposisi ini memberikan kepadatan energi yang tinggi, yang berarti baterai dapat menyimpan lebih banyak energi dalam ukuran yang lebih kecil.
Mirip strategi China
Menurut Mailinda Eka Yuniza, langkah itu serupa dengan strategi Tiongkok yang menghentikan ekspor berbagai jenis mineral penting untuk menekan mitra dagangnya, termasuk AS.
Meski begitu, ia mengingatkan bahwa strategi tersebut harus dihitung dengan cermat, karena Indonesia tidak sefleksibel Tiongkok dalam mengalihkan ekspor ke pasar lain.