Senin 12 May 2025 12:26 WIB

Negara Teluk di Atas Angin, Saatnya Menekan Trump Bebaskan Palestina

Rumor deklarasi pengakuan Palestina oleh AS terus berembus.

Presiden AS Donald Trump menyalami Pangeran Saudi Muhammad bin Salman dalam pertemuan beberapa waktu lalu.
Foto: EPA
Presiden AS Donald Trump menyalami Pangeran Saudi Muhammad bin Salman dalam pertemuan beberapa waktu lalu.

Oleh: Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Saat Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengunjungi Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab pekan ini, negaranya bukan lagi adidaya yang dulu berkuasa. Kini, AS justru sangat bergantung pada ketiga negara itu, posisi yang semestinya digunakan negara-negara Teluk itu menekan Trump soal status Palestina.

Baca Juga

Media-media Israel sudah mengendus perimbangan kekuatan baru ini. Lembaga penyiaran publik Israel Kan melansir pada Senin, selama kunjungan Trump ke Saudi akhir pekan ini, Riyadh akan mencoba mengajaknya ikut serta dalam paket kesepakatan regional yang mencakup pembentukan negara Palestina.

Ada tawaran soal Palestina yang didemiliterisasi, mengakhiri perang di Gaza sembari membubarkan Hamas, dan normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Arab. Media tersebut mengutip seorang pejabat keluarga kerajaan Saudi yang tidak disebutkan namanya yang mengatakan ada banyak optimisme di Riyadh bahwa Trump akan terbujuk untuk mendukung kesepakatan tersebut.

Pejabat tersebut mengatakan bahwa beberapa rincian masih dapat diubah, namun pembentukan negara Palestina dan penghentian perang adalah komponen yang tidak dapat dinegosiasikan.

Mengapa negara-negara Teluk dalam posisi tawar yang kuat?

Koresponden luar negeri the Guardian Simon Tisdall menuliskan, para pemimpin negara-negara Teluk mempunyai kekuatan untuk meluruskan Trump, jika mereka memutuskan untuk menggunakannya. Trump kali ini sangat bergantung pada negara-negara tersebut – lebih dari Eropa – sebagai mitra diplomatik, mitra keamanan, dan pendukung keuangan. 

“Pendekatannya terhadap Palestina, yang berada di ambang Nakba (bencana) kedua, merupakan campuran dari prasangka, kekejaman, dan ketidaktahuan belaka. Tanpa bantuan Arab, AS dan Israel mungkin akan terus terjebak dalam jalan buntu kebijakan yang merusak.”

Salah satu daya tawar negara-negara Teluk yang utama adalah soal finansial. Dengan meningkatnya tekanan inflasi akibat kebijakan tarif, Trump ingin menunjukkan kesepakatan yang menyalurkan kekayaan negara-negara Teluk ke dalam perekonomian AS. Hal ini termasuk komitmen investasi bernilai miliaran dolar AS dari Riyadh, Doha, dan Abu Dhabi. 

Ketiga negara ini tidak hanya merupakan pilar stabilitas regional tetapi juga berfungsi sebagai proksi fungsional untuk proyeksi kekuatan AS tanpa memerlukan keterlibatan militer langsung. Mulai dari penguasaan energi fosil dan likuiditas keuangan hingga mediasi konflik regional, masing-masing negara bagian ini memiliki kekuatan untuk menekan Trump.

Merujuk Geopolitical Monitor, biaya energi yang tinggi juga mengancam akan memperburuk inflasi di dalam negeri, sehingga melemahkan narasi ekonomi Trump. Dalam konteks itu, Arab Saudi, raja harga minyak dunia, di atas angin.

Saudi mempunyai alasan kuat untuk mempertahankan kenaikan harga guna menyeimbangkan anggaran nasionalnya dan mempertahankan Visi 2030 yang ambisius, terutama dengan beberapa proyek infrastruktur bernilai miliaran dolar yang sedang dikembangkan. Trump dapat menawarkan jaminan keamanan yang diperluas atau kesepakatan senjata dengan imbalan konsesi jangka pendek terhadap produksi minyak.

Namun, kompromi apa pun bersifat tentatif. Negara-negara Teluk semakin sadar bahwa pengaruh energi masih menjadi salah satu dari sedikit alat yang tersisa yang memberi mereka kesetaraan dalam kemitraan asimetris dengan Washington.

Faktor China juga akan menjadi faktor utama dalam kunjungan ini. Trump akan berusaha menekan negara-negara Teluk, tidak hanya UEA, Qatar, dan Arab Saudi, namun keenam anggota GCC, untuk secara nyata menjauhkan diri dari Beijing. Washington memandang Teluk sebagai titik patahan penting dalam ketegangan AS-China  yang lebih luas.

Bagaimanapun, negara-negara ini semakin melakukan lindung nilai terhadap taruhan mereka, dengan melibatkan China secara ekonomi namun tetap bergantung pada keamanan AS. Trump rekan-rekannya di Teluk bahwa hubungan yang lebih dekat dengan Washington tetap menjadi pilihan yang paling aman bagi mereka. Hal ini memerlukan motivasi ekonomi yang kuat bagi negara-negara Teluk untuk melakukan hal tersebut, khususnya dalam bidang kerja sama keamanan dan perdagangan teknologi tinggi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement