REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD – Insiden penembakan di Kashmir beberapa waktu lalu berujung pada perang terbuka antara India-Pakistan yang dimulai Rabu dini hari. Bagaimana akar dari konflik kedua negara?
Terletak di barat laut anak benua India, wilayah Kashmir mencakup wilayah seluas 222.200 kilometer persegi dengan sekitar empat juta orang tinggal di Kashmir yang dikelola Pakistan dan 13 juta di Jammu dan Kashmir yang dikelola India.
Penduduknya mayoritas beragama Islam. Pakistan menguasai bagian utara dan barat, yaitu Azad Kashmir, Gilgit dan Baltistan, sedangkan India menguasai bagian selatan dan tenggara, termasuk Lembah Kashmir dan kota terbesarnya, Srinagar, serta Jammu dan Ladakh.
Berakhirnya pemerintahan kolonial Inggris dan pemisahan British India pada bulan Agustus 1947 menyebabkan terbentuknya Pakistan yang mayoritas penduduknya Muslim dan India yang mayoritas penduduknya Hindu. Pada saat itu, kerajaan-kerajaan kecil seperti Jammu dan Kashmir diberi pilihan untuk bergabung dengan salah satu negara tersebut. Dengan hampir 75 persen populasi Muslim, banyak orang di Pakistan percaya bahwa wilayah tersebut secara alami akan bergabung dengan negara tersebut.
Meski begitu, Maharaja Hindu yang berkuasa di Kashmir adalah Hari Singh, yang nenek moyangnya mengambil kendali wilayah tersebut sebagai bagian dari perjanjian dengan Inggris pada 1846. Pada saat pemisahan, Singh awalnya berusaha mempertahankan kemerdekaan Kashmir dari India dan Pakistan. Namun pada saat itu, pemberontakan terhadap pemerintahannya yang dilakukan oleh warga pro-Pakistan di sebagian Kashmir telah pecah. Kelompok bersenjata dari Pakistan, yang didukung oleh pemerintah negara yang baru dibentuk, menyerbu dan mencoba mengambil alih wilayah tersebut.

Merujuk Council of Foreign Relation, ini kemudian memicu Perang Indo-Pakistan tahun 1947-1948. Perjanjian Karachi tahun 1949 untuk sementara mengakhiri kekerasan di wilayah Jammu-Kashmir dengan membentuk garis gencatan senjata (CFL) yang diawasi oleh anggota subkomite gencatan senjata PBB.
Ketegangan meningkat hingga pertikaian antara pengawas perbatasan meningkat menjadi perang besar-besaran pada 1965. Pada 1971, India dan Pakistan kembali berperang singkat mengenai Pakistan Timur, dengan pasukan India membantu wilayah tersebut memperoleh kemerdekaan, yang berujung berdirinya Bangladesh saat ini.
India dan Pakistan berupaya membuka era baru hubungan bilateral melalui Perjanjian Simla tahun 1972, yang membentuk Garis Kendali (LOC). Garis kendali militer sementara ini membagi Kashmir menjadi dua wilayah administratif. Namun, pada 1974, konflik tersebut mencapai dimensi baru dengan pelibatan senjata nuklir. Pada tahun itu, India menguji senjata nuklir pertamanya, yang memicu perlombaan senjata nuklir yang membuat Pakistan mencapai tonggak sejarah yang sama dua dekade kemudian.
Pada 1989, Pakistan memanfaatkan gerakan perlawanan yang berkembang di Kashmir yang dikelola India. Hal itu memicu kembali ketegangan dan memulai kekerasan komunal selama beberapa dekade. Meskipun ada komitmen kembali ke LOC pada tahun 1999, tentara Pakistan melintasi LOC, memicu Perang Kargil.

Meskipun kedua negara telah mempertahankan gencatan senjata yang rapuh sejak tahun 2003, mereka secara rutin saling baku tembak melintasi perbatasan yang diperebutkan. Kedua belah pihak saling menuduh satu sama lain melanggar gencatan senjata dan mengaku melakukan penembakan sebagai balasan atas serangan tersebut.
Pada 26 November 2008, kekhawatiran bahwa India dan Pakistan akan kembali melakukan konfrontasi militer langsung meningkat setelah militan mengepung ibu kota India, Mumbai. Selama tiga hari, 166 orang tewas, termasuk enam orang Amerika. Baik India maupun Amerika Serikat menyalahkan Lashkar-e-Taiba (LeT) yang bermarkas di Pakistan. Pemerintah India bekerja sama dengan pemerintah Pakistan untuk membawa para pelaku ke pengadilan, sehingga membuka jalan bagi peningkatan hubungan.
Harapan damai...