Senin 05 May 2025 18:36 WIB

Kebijakan Trump Ancam Riset Polusi Asap Karhutla

Sensor canggih bernama Kolibri terancam dihentikan pengembangannya.

Rep: Mgrol156/ Red: Satria K Yudha
Petugas pemadam kebakaran melompati pagar saat berusaha memadamkan kebakaran besar yang melanda kawasan Pacific Palisades, Los Angeles, California, Selasa (7/1/2025) waktu setempat. Kebakaran hutan yang dipicu oleh angin kencang melanda lereng bukit Los Angeles, menghanguskan sedikitnya 770 hektare lahan termasuk permukiman warga. Kebakaran terus meluas akibat hembusan angin kencang. Evakuasi sedang dilakukan karena potensi ancaman terhadap nyawa dan harta benda. Sebanyak 30.000 orang dievakuasi akibat kebakaran tersebut yang saat ini terus meluas.
Foto: AP Photo/Ethan Swope
Petugas pemadam kebakaran melompati pagar saat berusaha memadamkan kebakaran besar yang melanda kawasan Pacific Palisades, Los Angeles, California, Selasa (7/1/2025) waktu setempat. Kebakaran hutan yang dipicu oleh angin kencang melanda lereng bukit Los Angeles, menghanguskan sedikitnya 770 hektare lahan termasuk permukiman warga. Kebakaran terus meluas akibat hembusan angin kencang. Evakuasi sedang dilakukan karena potensi ancaman terhadap nyawa dan harta benda. Sebanyak 30.000 orang dievakuasi akibat kebakaran tersebut yang saat ini terus meluas.

REPUBLIKA.CO.ID,WASHINGTON — Di tengah ancaman musim kebakaran hutan yang semakin parah, masa depan riset lingkungan Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) berada di ujung tanduk. Salah satu proyek andalan EPA, sensor canggih bernama Kolibri yang dirancang untuk meneliti dampak kesehatan dari asap kebakaran, terancam dihentikan pengembangannya akibat restrukturisasi internal dan kebijakan pemangkasan anggaran era Presiden AS Donald Trump.

Kolibri, alat seukuran kotak sepatu yang mampu mendeteksi polusi udara secara presisi dari udara, semula digadang sebagai terobosan penting dalam pemantauan dampak kebakaran hutan. Namun, proyek ini kini mandek setelah EPA mengisyaratkan akan membubarkan Kantor Penelitian dan Pengembangan (Office of Research and Development/ORD), jantung dari riset lembaga tersebut.

Baca Juga

Menurut laporan Reuters, rencana reorganisasi ini berpotensi memangkas hingga 75 persen dari 1.200 staf ORD. Para ilmuwan internal EPA yang berbicara secara anonim mengungkapkan bahwa riset di 11 kantor telah tertunda akibat pemotongan sumber daya dan larangan perjalanan.

Dalam email internal yang dikirim dan diperoleh Reuters, staf ORD diinstruksikan untuk menghadiri rapat umum mendadak pada Jumat (2/5/2025) sore, menambah ketidakpastian di kalangan pegawai. Meski EPA mengeklaim bahwa program pesawat nirawak mereka masih berjalan, tiga sumber yang terlibat dalam proyek Kolibrimengonfirmasi bahwa PHK terhadap staf kunci berpotensi menghentikan operasional alat tersebut sepenuhnya.

“Teknologi mereka tak tergantikan. Tim Kolibri memimpin dunia dalam penelitian asap kebakaran,” kata Leda Kobziar, profesor ilmu kebakaran hutan di Universitas Idaho.

Tak hanya Kolibri, sejumlah proyek penting juga terancam. Penilaian risiko bahan kimia abadi seperti PFAS, riset penyakit pernapasan di komunitas pedesaan, hingga studi penyebaran Valley Fever, yaitu penyakit jamur yang dipicu perubahan iklim dan kebakaran, semuanya terhambat.

Administrator EPA, Lee Zeldin, mengakui bahwa rencana reorganisasi masih dibahas. “Saya akan mengumumkannya segera, tetapi ini harus dipikirkan matang-matang. Ini bukan sekadar soal ORD, ini menyangkut setiap kantor,” kata Zeldin kepada wartawan pekan lalu. Ia juga menegaskan belum memiliki target pemangkasan staf, namun menyebut EPA harus cukup ramping untuk memenuhi kewajiban hukum dan mendukung kebangkitan besar Amerika.

Para ilmuwan memperingatkan bahwa jika pemangkasan ini terus berlanjut, Amerika bisa kehilangan pijakan dalam memerangi krisis lingkungan yang semakin kompleks.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement