REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Administrasi Niaga, Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia (UI) Prof Retno Kusumastuti Hardjono mengajak membangun bangsa dengan memanfaatkan kearifan lokal.
"Terminologi Indonesia's Renaissance menggambarkan kebangkitan nilai sosial dan budaya dalam bentuk gagasan inovatif yang mendorong transformatif lintas sektoral dan mutidisiplin," kata Prof Retno Kusumastuti di kampus UI, Depok, Jumat.
Ia mengatakan inovasi sosial di Indonesia tidak lepas dari kearifan lokal sosial dan budaya, melahirkan praktik baru yang memperkuat kohesi, sosial, dan keberagaman.
Inovasi ini bersifat khas, kata dia, memiliki kontekstual yang dikenal kadang-kadang sebagai Indigenous Social Innovation atau Social Cultural Innovation yang mencerminkan pergeseran dari pendekatan negara ke partisipasi masyarakat secara aktif.
Dikatakannya, inovasi sosial merupakan wujud kreativitas manusia dalam menjawab tantangannya serta merupakan solusi dan relevan sebagai strategi yang adaptif bagi masyarakat untuk membangun masa depan bangsa yang lebih adil, sejahtera, dan tangguh.
“Inovasi sosial dan budaya bersifat lintas sektor, multidisiplin, bahkan sangat kuat, tetapi memiliki kekhasan karena lahir dari batasan antara sektor publik dan sektor swasta, juga sektor masyarakat, sehingga mengambil peran dalam bentuk misalnya social enterprise maupun kemitraan publik dan swasta,” katanya.
Berdasarkan banyak literatur, kapasitas sosial inovasi Indonesia dan seluruh dunia ditentukan oleh empat hal yakni dukungan kebijakan, pendanaan, partisipasi masyarakat, dan semangat kewirausahaan. Semua faktor ini saling berkelindan dan merupakan fungsi dari efektivitas social innovation dalam satu tempat atau negara.
Indonesia memiliki potensi yang kuat dan merupakan peringkat 18 dari 45 negara, namun tantangan utama di Indonesia sering kali berkutat pada masalah pendanaan. Penelitian yang dilakukan Prof Retno menunjukkan ciri khas inovasi sosial pada era abad 21 bersifat bottom-up, berbasis lokal, bersifat kolaboratif, sehingga membentuk community of innovation, menggunakan model hybrid yang tidak hanya profit seeking, tetapi juga berbasis kemanusiaan.
Semua ini menegaskan, kata dia, inovasi sosial sejatinya tumbuh dari budaya dan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Ia menuturkan banyak sekali contoh tentang inovasi sosial-budaya di Indonesia, misalnya di Bali ada sistem irigasi Subak, kemudian di Yogyakarta ada budaya wayang yang sudah menggunakan teknologi elektronik, sehingga bisa disaksikan di berbagai belahan dunia.
Selain itu pemberdayaan perempuan di daerah Dayak dan 90 persen wilayah Indonesia yang menghasilkan berbagai kain tenun yang indah. Semua itu merupakan bentuk-bentuk kekuatan lokal yang menjadi ciri khas utama sebuah inovasi dan bahkan menjadi keunggulan bersaing.
Bentuk inovasi ini bisa menjadi berkelanjutan dengan memperhatikan keberadaan proses dan juga pelaksanaannya menciptakan siklus belajar yang berbasis system thinking, sehingga diharapkan inovasi sosial tidak hanya bersifat sesaat, tetapi merupakan inovasi yang berkelanjutan.
Untuk itu, lanjutnya, inovasi sosial-budaya yang ada di Indonesia semestinya menggunakan kerangka dari tiga aspek yang mengakomodasi people (manusia dan keadilan sosial), planet (lingkungan hidup) dan profit (ketahanan ekonomi) untuk menjawab kebutuhan jangka panjang. Ia mengatakan inovasi sosial memiliki empat pendekatan yakni berbasis manusia, berbasis lokasi, didorong kemitraan, dan kepedulian lingkungan.