Ahad 20 Apr 2025 21:06 WIB

Terungkap Motif Pelaku Bakar Kantor KPU Buru, Hindari Pemeriksaan Terkait Anggaran Rp 33 M

Polisi menyebut dalang pembakaran kantor KPU Buru adalah bendahara KPU.

Lambang KPU (ilustrasi).
Foto: Antara
Lambang KPU (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BURU -- Kepolisian Resort (Polres) Buru telah menangkap pelaku pembakaran kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Buru, Provinsi Maluku, yang terjadi pada 28 Februari 2025. Polres Buru menetapkan tiga tersangka, yakni berinisial RH (48) yang merupakan bendahara KPU, SB (45) mantan Komisioner PPK Fenaleisela, dan AT (42).

Kapolres Buru AKBP Sulastri Sukidjang, di Ambon, Sabtu (19/4/2025), menjelaskan, motif di balik aksi pembakaran tersebut adalah untuk menghindari pemeriksaan dan pertanggungjawaban anggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024 senilai Rp33 miliar.

Baca Juga

“Motifnya adalah untuk menghindari pemeriksaan penggunaan anggaran Pilkada 2024 dari KPU RI. Para pelaku berupaya menghilangkan dokumen-dokumen laporan pertanggungjawaban anggaran,” kata Kapolres.

Sulastri mengungkapkan, RH disebut sebagai dalang utama yang merancang aksi pembakaran sekaligus menyiapkan logistik. Sementara eksekutor lapangan adalah AT, yang dibantu oleh SB.

Kapolres memaparkan bahwa pada hari kejadian, SB membawa empat jerigen berisi campuran minyak tanah dan bensin yang telah disiapkan oleh RH. Jerigen tersebut kemudian diserahkan kepada AT yang masuk ke dalam kantor KPU melalui jendela belakang ruang rapat yang sebelumnya telah dibuka.

Di dalam kantor, AT menyiram bagian bawah dan plafon dengan bahan bakar sebelum menunggu waktu yang tepat untuk membakar bangunan tersebut. Ia menegaskan bahwa tidak ada imbalan uang yang diterima oleh SB dan AT. Keduanya mengaku melakukan aksi tersebut karena merasa memiliki hutang budi kepada RH.

Saat ini, Polres Buru masih terus melakukan pendalaman kasus dan menyelidiki kemungkinan adanya keterlibatan pihak lain dalam peristiwa pembakaran ini. Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 187 ayat (1) junto Pasal 55 ayat (1) KUHP, dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.

Kasus ini menjadi perhatian publik karena melibatkan pejabat penyelenggara pemilu, dan diharapkan menjadi pembelajaran penting akan pentingnya integritas serta akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara, khususnya pada momentum politik seperti Pilkada.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement