REPUBLIKA.CO.ID,MANDALAY -- Gempa 7,7 skala Richter di Myanmar diperkirakan menewaskan 1.000 orang lebih. Pakar menilai proses penyelamatan korban itu akan terhambat berbagai krisis yang melanda negara Asia Tenggara itu beberapa tahun terakhir.
Pada bulan Januari lalu PBB mengatakan Myanmar menghadapi "polikrisis" yang ditandai ambruknya ekonomi, konflik yang semakin intensif, risiko bencana terkait perubahan iklim dan kemiskinan mendalam. Lebih dari setengah populasi negara itu kekurangan akses ke listrik dan rumah sakit di zona konflik yang tidak beroperasi normal.
Perang yang dipicu kudeta militer terhadap pemerintah terpilih pada 2021 lalu memaksa 3,5 juta orang mengungsi. Semakin banyak warga yang melintasi perbatasan untuk menghindari pertempuran antara militer dengan kelompok perlawanan.
Lembaga kemanusia Free Burma Rangers melaporkan junta militer meluncurkan serangan udara dan drone ke negara bagian Karen tidak lama setelah gempa mengguncang Myanmar. Karen berada dekat salah satu wilayah yang dikuasai kelompok perlawanan bersenjata.
Dalam unggahannya di media sosial, Akademisi Myanmar di Bristol University Nyi Nyi Kyaw menulis hilangnya sebagian besar kelompok muda terutama pemuda akibat wajib militer akan menghambat respon bencana. Ia mengatakan wajib milite mengakibatkan kota-kota besar dan kecil kehilangan para pemuda yang sebelumnya dapat dimobilisasi untuk upaya penyelamatan dan bantuan.
“Tidak ada pemerintahan yang berfungsi dengan baik apalagi yang sah di daerah-daerah yang terkena dampak gempa bumi yang paling parah,” katanya, Sabtu (29/3/2025).
Seorang petugas penyelamat yang berusaha menyelamatkan 140 biksu dari reruntuhan bangunan di Amarapura, Mandalay, mengatakan ia tidak memiliki cukup orang dan alat berat untuk menyingkirkan puing-puing. "(Tapi) kami tidak akan berhenti berusaha," katanya.
Warga yang berhasil selamat menggunakan tangan kosong untuk menyingkirkan puing-puing bangunan untuk mencari dan menyelamatkan orang-orang yang masih tertimbun reruntuhan. Junta Myanmar meminta sudah bantuan internasional. Tim respon bencana dari Rusia, Cina, Singapura dan India sudah terbang ke negara itu.