REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Agresi militer Israel yang menghancurkan perjanjian gencatan yang sudah disepakati dengan Hamas menuai masalah baru. Selain kecaman dunia dan gonjang ganjing stabilitas politik dalam negeri, angka pemuda yang menolak wajib militer juga melonjak.
Israel menerapkan sistem wajib militer sebagai sistem pertahanan semesta yang diterapkan. Hal itu mengharuskan pemuda untuk bergabung di dalamnya menjadi prajurit untuk berperang.
Agresi militer Israel kali ini adalah untuk membumihanguskan Gaza. Setelah itu, mereka akan berencana menganeksasi wilayah tersebut sepenuhnya. Kemudian mewujudkan rencana Trump untuk membangun Riviera Timur Tengah di sana.
Namun untuk menuju kesana tidaklah mudah. Militer Israel harus menghadapi pasukan militan Hamas yang tangguh mempertahankan wilayahnya.
Keterkaitan militer dan sipil
Di Israel, tentara lebih dari sekadar sebuah institusi. Itu adalah bagian dari tatanan sosial, di mana dinas militer dan identitas Yahudi Israel saling berkaitan erat. Itu dimulai lebih awal; Sejak sekolah dasar, siswa diajarkan bahwa mereka “suatu hari nanti akan menjadi prajurit yang akan melindungi negara mereka,” dengan para prajurit mengunjungi kelas-kelas dan sekolah-sekolah dan secara eksplisit mendorong siswa untuk mendaftar.
Pada usia enam belas tahun, anak-anak ini menerima perintah wajib militer pertama, yang berpuncak pada wajib militer pada usia delapan belas tahun.
Alasan hati nurani
Jumlah "penolak" masih sangat kecil. Hanya 12 warga Israel yang secara terbuka menolak wajib militer karena alasan hati nurani sejak awal perang, menurut Mesarvot, sebuah organisasi yang mendukung kelompok tersebut. Tetapi jumlah ini lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelum perang.