Senin 10 Mar 2025 16:31 WIB

Derita Warga Gaza di Tengah Hujan Berkah Ramadhan

Warga Gaza tetap berpuasa Ramadhan di tengah blokade Israel.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Erdy Nasrul
Warga Palestina melaksanakan Sholat Jumat pertama bulan suci Ramadan di Masjid Imam Shafii, yang rusak akibat serangan tentara Israel, di lingkungan Zeitoun, Kota Gaza, Jumat (7/3/2025). Warga Palestina di Gaza menggelar sholat jumat diantara reruntuhan masjid Imam Shafii pasca gencatan senjata dengan Israel. Meski penuh keterbatasan, warga tetap khusyuk menjalani ibadah sholat jumat pertama di bulan Ramadhan.
Foto: AP Photo/Jehad Alshrafi
Warga Palestina melaksanakan Sholat Jumat pertama bulan suci Ramadan di Masjid Imam Shafii, yang rusak akibat serangan tentara Israel, di lingkungan Zeitoun, Kota Gaza, Jumat (7/3/2025). Warga Palestina di Gaza menggelar sholat jumat diantara reruntuhan masjid Imam Shafii pasca gencatan senjata dengan Israel. Meski penuh keterbatasan, warga tetap khusyuk menjalani ibadah sholat jumat pertama di bulan Ramadhan.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Abdullah al-Ashqar, seorang pekerja konstruksi berusia 45 tahun dan ayah dari lima anak, berdiri di depan rak-rak bahan makanan yang tandus dan hanya ditandai dengan label harga yang meningkat tajam. Bagi al-Ashqar, bulan suci Ramadhan telah bergeser dari musim kegembiraan menjadi musim keputusasaan yang mendalam.

"Ramadan dulu berarti kegembiraan bagi kami, kami akan berkumpul di sekitar meja, berbuka puasa bersama, dan aroma roti segar memenuhi rumah," kata al-Ashqar, dikutip dari halaman Bernama, Senin (10/3)

Baca Juga

Pada awal Maret 2025, pihak berwenang Israel memblokir bantuan kemanusiaan ke Gaza, dengan alasan berakhirnya tahap pertama perjanjian gencatan senjata dengan Hamas, yang secara efektif menutup penyeberangan perbatasan Kerem Shalom, jalur utama Gaza untuk makanan, obat-obatan, dan bahan bakar.

Blokade ini bertepatan dengan dimulainya bulan Ramadhan bagi lebih dari dua juta penduduk Gaza, sebuah periode yang secara tradisional ditandai dengan perayaan komunal dan pembaharuan spiritual.

Namun, banyak keluarga kini menghadapi bulan suci dengan dapur kosong dan harapan yang memudar.

“Anak-anak saya bertanya kepada saya setiap hari, apa yang akan kita makan hari ini? Dan saya tidak punya jawaban," kata al-Ashqar.

Sebelum konflik, penghasilannya dari pekerjaan konstruksi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kini, dengan terputusnya rantai pasokan, bahkan barang-barang kebutuhan pokok pun menjadi barang mewah yang tak terjangkau.

Di seluruh Kota Gaza, pasar-pasar yang dulunya ramai kini nyaris sepi. Pedagang makanan seperti Mahmoud al-Far hanya bisa pasrah melihat para pembeli yang bertanya tentang harga-harga dan pergi dengan tangan hampa.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement