Selasa 28 Jan 2025 07:13 WIB
100 Hari Pemerintahan Prabowo Gibran

Kinerja Polri Turut Pengaruhi Penilaian Publik Terhadap 100 Hari Pemerintahan Prabowo

Publik menuntut Prabowo memastikan peningkatan profesionalitas Polri.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Andri Saubani
Terduga pelaku penembakan siswa SMK Aipda Robig Zaenudin (tengah) digiring petugas memasuki ruang sidang kode etik kasus tersebut di Mapolda Polda Jateng, Semarang, Jawa Tengah, Senin (9/12/2024). Sidang kode etik tersebut beragenda pembacaan putusan terkait tindakan berlebihan atau excessive action yang diduga dilakukan Aipda Robig Zaenudin dengan menembak mati korban Gamma Rizkynata Oktafandy (16) pada Ahad (24/11/2024) dini hari.
Foto: ANTARA FOTO/Makna Zaezar
Terduga pelaku penembakan siswa SMK Aipda Robig Zaenudin (tengah) digiring petugas memasuki ruang sidang kode etik kasus tersebut di Mapolda Polda Jateng, Semarang, Jawa Tengah, Senin (9/12/2024). Sidang kode etik tersebut beragenda pembacaan putusan terkait tindakan berlebihan atau excessive action yang diduga dilakukan Aipda Robig Zaenudin dengan menembak mati korban Gamma Rizkynata Oktafandy (16) pada Ahad (24/11/2024) dini hari.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peran dan kinerja Polri turut memengaruhi penilaian publik dalam 100 hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Skor tinggi di survei tingkat kepuasan publik atas kepemimpinan nasional saat ini tak sejurus dengan opini publik yang menilai jeblok kinerja Polri.

Center of Economic and Law Studies (Celios) dalam rapor 100 Hari Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang dipublikasikan Selasa (21/1/2025) lalu mengatakan, dalam skala 10 Polri dapat ponten 4. Publik menuntut Presiden Prabowo untuk memastikan peningkatan profesionalitas dan kualitas Polri sebagai aparat, pelindung, dan pengayom masyarakat.

Baca Juga

“Kinerja Polri jauh dari Presisi,” kata Peneliti Hukum Celios Muhammad Saleh.

Litbang Kompas pada Januari 2025 menunjukkan hasil siginya yang mencatat Polri sebagai lembaga negara dengan citra terendah. Yakni dengan 65,7 persen tingkat kepercayaan publik.

Angka tersebut di bawah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang lama dicap sebagai lembaga negara paling tak dipercaya publik. Citra Polri pun terbawah di antara lembaga penegak hukum lain seperti, Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) apalagi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Polri juga masih dinilai buruk oleh berbagai kelompok swadaya masyarakat para pemerhati hukum hak asasi manusia (HAM) internasional. Amnesty Internasional Indonesia mencatat sepanjang 21 Oktober sampai Desember 2024 sedikitnya ada 17 peristiwa pembunuhan di luar hukum yang dilakukan aparat Polri maupun personel TNI.

Kontras lebih masif. Dikatakan sepanjang 20 Oktober 2024 sampai 16 Januari 2025 tercatat 148 peristiwa kekerasan, penghilngan nyawa di luar hukum yang melibatkan anggota Polri maupun TNI.

Peristiwa banyak dilakukan aparat kepolisian dengan 136 kasus. Selebihnya 12 kasus melibatkan militer. “Sayangnya tidak satupun dari ratusan peristiwa-peristiwa kekerasan tersebut yang menemukan penyelesaian yang berkeadilan bagi korban,” kata Koordinator Kontras Dimas Bagus Arya.

Tingginya angka kekerasan yang melibatkan personel-personel kepolisian tersebut, dikatakan sebagai catatan buruk penegakan hukum sepanjang 100 hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo.  “Hal ini menunjukkan bahwa pemerintahan Prabowo belum mampu melakukan pembenahan bahkan perubahan berarti dalam proses penegakan hukum. Kultur-kultur kekerasan yang melibatkan anggota-anggota kepolisian, bahkan TNI, justru saat ini semakin terlihat,” ujar Dimas.

Republika mencatat beragam peristiwa yang melibatkan anggota-anggota Polri sepanjang Oktober 2024 sampai Januari 2025. Kasus-kasus ini berdampak pada penilaian publik terhadap pemerintahan Presiden Prabowo dalam upaya memperbaiki peran dan fungsi Polri.

Paling geger adalah peristiwa pembunuhan yang dilakukan sesama anggota kepolisian di Solok Selatan, Sumatera Barat (Sumbar) pada November 2024 lalu. AKP Ulil Anshar selaku Kasat Reskrim Polres Solok Selatan ditembak mati di markasnya sendiri oleh rekannya AKP Dadang Iskandar yang saat itu menjadi Kabag Ops Polres Solok Selatan.

Kasus tersebut terkait beking-membeking tambang Galian-C di wilayah Solok Selatan. Kasus ini berujung pada pemecatan AKP Dadang oleh Mabes Polri. Tetapi proses pidananya hilang rimba.

Pada bulan sama anggota Polrestabes Semarang, Jawa Tengah (Jateng) Aipda Robig Zaenudin menembak sejumlah pelajar. Gamma, pelajar SMKN-4 Semarang yang menjadi korban dalam peristiwa itu meninggal dunia.

Kasus ini panjang menyita perhatian publik dan membuat masyarakat emosi terhadap Polri. Karena Polri sebagai institusi sempat melakukan pembengkokan narasi atas aksi penembakan tersebut dengan menyebutkan Aipda Robig melakukan pengejaran terhadap para pelajar yang melakukan aksi tawuran.

Narasi palsu tawuran itu tak terbukti. Pengungkapan sejumlah media pemberitaan daerah pun nasional, serta partisipasi individu-individu masyarakat melalui publikasi di media sosial (medsos), mengungkap, bahwa aksi tawuran versi Polrestabes Semarang itu tak benar. Belakangan Aipda Robig dipecat.

Menyusul terungkapnya kasus kekerasan yang menghilangkan nyawa warga Semarang, Darso (43 tahun). Kasus Darso terjadi September 2024. Tetapi kematian tersebut janggal. Belakangan terungkap dugaan keterlibatan enam anggota Polrestra Yogyakarta yang hingga kini masih dalam penyidikan.

Di Tangerang, Banten, kasus penembakan oleh anggota TNI Angkatan Laut (AL) yang membuat Ilyas Abdurrahman seorang pengusaha rental mobil tewas. Kasus ini menyeret Polri ke pusaran. Polsek Cinangka di Tangerang sempat menolak pengaduan keluarga korban.

Kasus tersebut berujung pada reaksi publik yang menarasikan pelaporan rakyat biasa tak bakal pernah digubris oleh kepolisian jika tanpa beking maupun uang. Kasus tersebut berujung pada desakan Polri mencopot AKP Asep Iwan sebagai Kapolsek Cinangka. Dua personel polsek lainnya diperiksa.

Penolakan yang dilakukan Polri atas laporan masyarakat juga terjadi dalam peristiwa penganiayaan yang dialami Dwi Darmawati (DD). Perempuan 19 tahun itu adalah karyawati di toko roti di kawasan Cakung, Jakarta Timur (Jatim). Dwi korban kekerasan oleh George Sugama Halim (SGH) putra dari si pemilik toko roti.

George melakukan beragam kekerasan mulai melempari Dwi dengan kursi, sampai benda-benda keras lainnya. George juga melakukan pengancaman terhadap Dwi. Bahkan George sesumber dirinya kebal hukum.

Kekerasan dan ancaman yang dialami Dwi sudah ia laporkan dua kali ke Polsek Rawamangun, dan Polsek Cakung sejak Oktober 2024. Tetapi dua otoritas kepolisian daerah itu menolak pelaporan. Alasannya tak ada alat bukti.

Dwi kemudian melaporkan ke Polres Jaktim. Laporannya diterima, tetapi berkasnya cuma masuk laci. Pada Desember 2024 muncul rekeman video di berbagai platform medsos yang menayangkan peristiwa kekerasan yang dilakukan anak majikan terhadap karyawati itu.

Viralitas rekaman kekerasan itu bikin Polri kalang-kabut, yang kemudian menggelar penyelidikan. Masifnya pemberitaan atas kasus tersebut membuat George sempat melarikan diri ke Jawa Barat (Jabar). Namun desakan publik yang terus menerus kepada Polri membuat petugas keamanan menangkap George di Sukabumi. George lalu ditahan.

Selama kasus kekerasan yang dialaminya mangkrak di kepolisian Dwi mengaku menghabiskan uang banyak. Bahkan sampai menjual motor agar kasus yang dialaminya melaju ke muka hukum.

Ada juga kasus yang membuat citra Polri yang buruk, menembus level internasional. Yaitu, ketika terungkap pemerasan ramai-ramai personel kepolisian di wilayah hukum Metro Jaya terhadap warga negara asing dalam konser Djakarta Warehouse Project (DWP) Desember 2024.

Kasus tersebut menjadikan sejumlah warga lokal, maupun warga negara Malaysia korban pemerasan hingga mencapai Rp 2,5 miliar. Sejumlah anggota Polri dari satuan narkotika menyatroni konser DWP dan memeriksa sejumlah penonton untuk tes urine.

Dari pemeriksaan air kencing penonton itu beberapa memang terbukti menggunakan zat adiktif. Lalu mereka yang positif dibawa ke markas untuk ditahan. Namun selama penahanan, para anggota polisi itu melakukan pemerasan dengan imbalan kasusnya tak diteruskan.

Pengungkapan kasus itu berujung pada sanksi terhadap 20-an personel Polda Metro Jaya. Bahkan sejumlah perwira menengah dengan jabatan direktur di Polda kena pecat. Lainnya dijatuhi demosi antara delapan sampai 10 tahun.

 

photo
Saat Polisi Tembak Polisi - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement