Sabtu 30 Nov 2024 06:30 WIB

Berhenti Salahkan Perempuan Korban Kekerasan Seksual

Komnas Perempuan menemukan jutaan kasus kekerasan terhadap perempuan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Muhammad Hafil
Ilustrasi Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mengajak masyarakat untuk menghentikan menyalahkan perempuan yang menjadi korban kekerasan. Sebab mereka jangan sampai dua kali menjadi korban.

Komnas Perempuan mengamati masih ada stigma buruk di masyarakat bagi perempuan korban kekerasan seksual. 

Baca Juga

"Mendorong publik berhenti menyalahkan perempuan. Stop menyalahkan korban kekerasan termasuk berhenti menyalahkan seakan-akan perempuan sumber dari kekerasan itu," kata Anggota Komnas Perempuan Veryanto Sitohang dalam media talk di kantor KemenPPPA, Jakarta pada Jumat (29/11/2024). 

Veryanto menyampaikan hal itu dalam rangka Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Very berharap momentum ini membuat semua pihak bersama-sama mencegah, menghapus, dan menangani kekerasan terhadap perempuan.

Setiap tahunnya, kampanye ini berlangsung dari 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. 

Dalam 10 tahun terakhir, Komnas Perempuan menemukan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 2.560.571 kasus. Kemudian angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tercatat mencapai 2.522.659 kasus.

Berikutnya tercatat kekerasan seksual di angka 143.893 kasus.

Veryanto menyampaikan dengan adanya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mesti menjadi momentum bagi korban untuk semakin berani melaporkan kasus yang dialaminya.

"Publik juga semakin menyadari bahwa kekerasan seksual tidak boleh dinormalisasi. Catcalling kan sesuatu yang dianggap biasa. Tapi sejak ada UU TPKS, orang banyak yang sadar enggak boleh lagi, karena itu termasuk pelecehan seksual nonfisik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4," ujar Very.

Aparat penegak hukum juga semakin sadar bahwa penanganan hukum kekerasan seksual tidak boleh ditiadakan.

"Dulu kalau ada kasus kekerasan seksual itu diselesaikan dengan damai atau restorative justice," ujar Very.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement