Jumat 29 Nov 2024 10:43 WIB

Indonesia Emas 2045, Mengoptimalkan atau Mentransformasi?

Pendidikan merupakan fondasi utama dalam memajukan suatu bangsa.

Retno Rahayuningsih, Dosen Universitas BSI, Fasilitator Sekolah Penggerak Angkatan 3
Foto: Universitas BSI
Retno Rahayuningsih, Dosen Universitas BSI, Fasilitator Sekolah Penggerak Angkatan 3

REPUBLIKA.CO.ID, Pendidikan merupakan fondasi utama dalam memajukan suatu bangsa, dan saat ini, pendidikan Indonesia sedang berada dalam sorotan publik. Terutama dengan adanya perubahan kurikulum yang terus berkembang, kita dihadapkan pada pilihan besar: apakah kita hanya akan mengoptimalkan sistem pendidikan yang ada, ataukah kita memerlukan transformasi menyeluruh guna mewujudkan visi Indonesia Emas 2045?

Sejak diperkenalkan oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, Kurikulum Merdeka pada 2020 dan diresmikan pada 2021 di tengah situasi pandemi, telah memberikan angin segar bagi pendidikan Indonesia. Berdasarkan observasi saya dalam berbagai kegiatan di Sekolah Penggerak, banyak kepala sekolah dan guru yang merasakan manfaat dari kebijakan ini. Mereka merasa diberdayakan dengan adanya kebebasan untuk menciptakan inovasi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Inovasi ini sangat penting karena selama ini banyak guru yang terbelenggu oleh rasa takut melanggar regulasi yang terlalu kaku, sehingga pembelajaran menjadi terbatas pada pemenuhan administrasi semata.

Baca Juga

Kurikulum Merdeka memberikan ruang bagi sekolah dan guru untuk lebih fleksibel dalam mendesain pembelajaran yang relevan bagi siswa. Namun, beberapa kebijakan dalam kurikulum ini, seperti penghapusan Ujian Nasional (UN) dan penerapan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), menjadi sorotan utama dan menimbulkan pro dan kontra.

Ujian Nasional (UN) Sebagai Alat Asesmen

Salah satu kebijakan yang paling kontroversial adalah penghapusan UN sebagai standar kelulusan. Penghapusan UN seharusnya dimaksudkan untuk memberikan kebebasan yang lebih besar dalam pembelajaran, tetapi dalam praktiknya justru menimbulkan dampak negatif bagi motivasi siswa. Penelitian yang dilakukan oleh Devi Intan Chadijah dkk. (2022) di SMPN 3 Aceh Barat menunjukkan bahwa penghapusan UN telah mengurangi motivasi siswa untuk berprestasi. Sebelum UN dihapuskan, banyak siswa yang didorong untuk mengikuti perlombaan dan kompetisi akademik. Namun, setelah UN dihapuskan, jumlah siswa berprestasi semakin menurun.

Tidak adanya ujian yang jelas sebagai target kelulusan membuat banyak siswa kehilangan arah dan semangat untuk belajar. Pernyataan seperti “Ngapain belajar, nanti juga lulus, kan sudah tidak ada Ujian Nasional” menunjukkan penurunan keseriusan dalam belajar yang sangat memprihatinkan. Oleh karena itu, sebaiknya UN sebagai alat asesmen yang objektif dan dapat mengukur capaian pendidikan di seluruh Indonesia perlu dipertimbangkan untuk dikembalikan.

Sistem Zonasi: Menyelesaikan atau Memperburuk Masalah?

Penerapan sistem zonasi dalam PPDB yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan akses pendidikan antar wilayah ternyata menghadapi berbagai masalah dalam pelaksanaannya. Praktik manipulasi data Kartu Keluarga (KK) untuk memasukkan siswa ke sekolah-sekolah favorit, serta praktek jual beli kursi di sekolah, telah merusak semangat kesetaraan dan keadilan dalam pendidikan. Hal ini membuat sistem zonasi, yang seharusnya memberikan kesempatan bagi siswa untuk bersekolah di sekolah terdekat dengan kualitas yang merata, justru menjadi rentan terhadap manipulasi.

Masalah lainnya adalah ketidakmerataan kualitas sekolah di berbagai daerah. Di beberapa wilayah, terutama di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), banyak sekolah yang masih kekurangan fasilitas dan tenaga pendidik yang berkualitas. Oleh karena itu, meskipun zonasi dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan pendidikan, implementasinya tidak berjalan sesuai harapan. Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka juga telah menyarankan agar sistem zonasi dalam PPDB segera dievaluasi ulang. Pemerataan kualitas pendidikan di seluruh wilayah Indonesia adalah kunci untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Mengoptimalkan atau Mentranformasi?

Prof. Dr. Abdul Mu’ti, Mendikbudristek yang baru, kini menjadi perhatian banyak pihak terkait kebijakan pendidikan selanjutnya. Salah satu isu yang ramai dibicarakan adalah apakah kurikulum Merdeka yang ada akan terus dioptimalkan ataukah akan dilakukan transformasi lebih lanjut.

Prof. Mu’ti menegaskan bahwa Deep Learning yang sering disebut sebagai pengganti Kurikulum Merdeka bukanlah kurikulum baru, melainkan sebuah pendekatan pembelajaran yang lebih mendalam dan bermakna. Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas belajar siswa dengan cara yang lebih mindful, meaningful, dan joyful. Namun, apakah perubahan ini cukup untuk menghadapi tantangan besar pendidikan di Indonesia?

Keputusan untuk mengoptimalkan atau mentransformasi Kurikulum Merdeka membutuhkan kajian yang mendalam dan komprehensif. Prof. Mu’ti mengungkapkan bahwa ia akan banyak mendengarkan aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan, serta mengumpulkan data dan bukti empiris untuk membuat keputusan yang tepat. Langkah ini sangat penting agar kebijakan yang diambil tidak hanya menjadi simbol perubahan, tetapi benar-benar berdampak positif pada kualitas pendidikan di Indonesia.

Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Pengkajian Kurikulum Merdeka

1. Beban Administrasi Guru yang Terlalu Berat

Salah satu masalah terbesar yang dihadapi dalam implementasi Kurikulum Merdeka adalah beban administrasi yang berlebihan. Banyak guru yang merasa terlalu disibukkan dengan administrasi, sehingga kurang fokus pada pembelajaran di kelas. Jika kurikulum ini akan diteruskan atau diubah, penyederhanaan beban administratif guru harus menjadi prioritas.

2. Perlunya Pelatihan Guru yang Komprehensif

Meskipun kurikulum Merdeka memberikan fleksibilitas, banyak guru yang kesulitan beradaptasi dengan pendekatan pembelajaran baru. Oleh karena itu, pelatihan guru yang konsisten dan komprehensif sangat diperlukan agar mereka bisa menjadi aktor utama dalam merancang dan menerapkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan siswa.

3. Pemerataan Infrastruktur Pendidikan

Pemerataan infrastruktur pendidikan di seluruh wilayah, terutama di daerah 3T, harus menjadi prioritas utama. Tanpa dukungan infrastruktur yang memadai, baik dari segi fasilitas maupun kualitas pengajaran, kurikulum apapun yang diterapkan tidak akan berhasil secara maksimal.

Penulis: Retno Rahayuningsih, Dosen Universitas BSI, Fasilitator Sekolah Penggerak Angkatan 3

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement