Selasa 26 Nov 2024 06:49 WIB

Hakim: Kerugian Negara di Kasus KAI Rp 562 Miliar, Bukan Rp 1,1 Triliun

Kasus pembangunan jalur Kereta Besitang-Langsa merugikan negara Rp 562 miliar.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Suasana sidang pembacaan dakwaan kasus korupsi proyek kereta Besitang-Langsa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/7/2024).
Foto: Antara/Agatha Olivia Victoria
Suasana sidang pembacaan dakwaan kasus korupsi proyek kereta Besitang-Langsa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/7/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menyebutkan kerugian keuangan negara dari kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalur Kereta Besitang-Langsa pada Balai Teknik Perkeretaapian Medan tahun 2017 hingga 2023 sebesar Rp 562,51 miliar, berbeda dengan dakwaan sebesar Rp 1,15 triliun.

"Kerugian keuangan negara tersebut diakibatkan oleh penyimpangan dalam pekerjaan perencanaan, pelelangan, dan pelaksanaan penanganan konstruksi pembangunan jalur KA antara Besitang-Langsa Tahun Anggaran 2017 sampai dengan 2019," kata hakim ketua Maryono dalam sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (25/11/2024).

Maryono memerinci, kerugian keuangan negara tersebut terdiri atas kerugian dalam tahap peninjauan desain (review design) sebesar Rp 7,9 miliar, rancangan penanganan ambles sebanyak Rp 531,96 miliar, serta pekerjaan jalur (track) kereta Rp 22,65 miliar. Adapun dalam sidang tersebut, terdapat tiga terdakwa yang dijatuhkan vonis.

Mereka adalah mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) wilayah I pada Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatra Bagian Utara Akhmad Afif Setiawan, mantan PPK Pekerjaan Konstruksi Pembangunan Jalur Kereta Besitang-Langsa Halim Hartono, serta mantan Kepala Seksi Prasarana pada Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatra Bagian Utara Rieki Meidi Yuwana.

Majelis Hakim menyatakan, ketiganya telah terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan subsider. Dengan demikian, para terdakwa terbukti melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Rieki divonis pidana penjara selama lima tahun, Akhmad divonis enam tahun penjara, serta Halim divonis tujuh tahun penjara. Selain pidana penjara, ketiga terdakwa juga divonis pidana denda, yakni masing-masing sebesar Rp 750 juta subsider pidana kurungan empat bulan.

Tak hanya itu, ketiganya turut dijatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti, yakni Rieki sebesar Rp 785,1 juta subsider setahun kurungan, Akhmad senilai Rp 9,55 miliar subsider dua tahun kurungan, serta Halim sebesar Rp 28,58 miliar subsider tiga tahun enam bulan kurungan.

Dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalur kereta Besitang-Langsa pada Balai Teknik Perkeretaapian Medan tahun 2017-2023, ketiga terdakwa diduga merugikan keuangan negara senilai Rp 1,15 triliun. Tiga orang mantan pejabat Kemenhub itu didakwa melakukan korupsi bersama dengan Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatra Bagian Utara periode 2016–2017 Nur Setiawan Sidik, serta Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara periode 2017–2018 Amanna Gappa.

Kemudian, bersama pula dengan Team Leader Tenaga Ahli PT Dardella Yasa Guna Arista Gunawan serta Beneficial Owner dari PT Tiga Putra Mandiri Jaya dan PT Mitra Kerja Prasarana Freddy Gondowardojo. Keempat terdakwa itu juga telah divonis terlebih dahulu pada hari yang sama, namun sidang yang berbeda. Tetapi dalam sidang tersebut, majelis hakim yang berbeda menetapkan kerugian negara sebesar Rp 30,88 miliar.

Hakim Ketua Djuyamto mengungkapkan kerugian negara itu dihitung Majelis Hakim karena pihaknya tidak sependapat dengan hitungan kerugian negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebesar Rp 1,15 triliun yang ada dalam dakwaan jaksa penuntut umum.

"Kerugian keuangan negara dalam kasus ini tidak bisa dihitung secara total loss seperti hitungan BPKP karena secara nyata pekerjaan tersebut telah dilaksanakan," ucap Djuyamto dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement