REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejakgung) tak khawatir dengan minimnya bukti-bukti tindak pidana korupsi terkait timbunan uang hampir Rp 1 triliun, dan kepingan-kepingan emas seberat total 51 Kg yang ditemukan penyidik di rumah tersangka mantan pejabat tinggi Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar (ZR).
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Harli Siregar mengatakan, beban pembuktian dari mana sumber timbunan aset milik mantan kepala badan diklat hukum dan peradilan MA tersebut, bukan hanya diranah tim penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). Melainkan, kata Harli, beban pembuktian tersebut juga ada di pihak ZR sebagai penimbun aset-aset tersebut.
Menurut Harli, sampai saat ini, tim penyidik Jampidsus hanya memiliki bukti berupa pengakuan dari ZR sendiri tentang sumber uang yang ditimbunnya itu. “Bahwa dia sendiri (ZR) yang bilang, uang 922 (miliar) plus 51 kilogram (emas) itu, dari dia (ZR) mengurusi perkara-perkara. Perkara apa saja, dia itu lupa. Sengaja lupa mungkin,” kata Harli kepada Republika di Kejakgung, Jakarta, Jumat (8/11/2024).
Sengaja lupa itu, menurut Harli, tak bisa juga menyelematkan ZR lepas dari pertanggungjawaban pidana. Karena, kata Harli, dalam pendakwaan nantinya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) di persidangan, juga akan menerangkan tentang temuan uang setotal Rp 922 miliar, dan kepingan emas sebanyak 446 buah milik ZR.
Adanya penjelasan tentang temuan tersebut di dalam dakwaan jaksa, tentunya juga akan ditelusuri oleh majelis hakim di persidangan. “Beban pembuktiannya kan di dia (ZR). Kalau misalkan dia didakwa dia, kita (jaksa) persangkakan dia dengan permufakatan jahat ini. Lalu dalam perjalanannya ditemukan itu (Rp) 922 miliar plus 51 (kg) emas itu, kan pasti ditanya sama hakim, ini apa ini?, ini dari mana ini?,” kata Harli.
Sementara ini, kata Harli, penyidik Jampidsus menebalkan sangkaan Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 15, dan Pasal 12B jo Pasal 18 UU Tipikor 31/1999-20/2001. Ragam sangkaan tersebut terkait dengan suap-gratifikasi, dan permufakatan jahat untuk melakukan suap-gratifikasi.
Harli menerangkan, ragam persangkaan tersebut konstruksi pembuktiannya, ada di pihak ZR sebagai penerima. “Dugaannya itu kan ada terkait dengan gratifikasi. Kenapa gratifikasi, karena dia (ZR) bilang (Rp) 922 miliar dan (emas) 51 (Kg) itu, dari pengurusan perkara. (Penerimaan oleh penyelenggara negara) lebih dari (Rp) 10 juta, beban pembuktiannya itu ada di pihak penerima. Dalam hal ini, ZR,” begitu kata Harli.
Sebab itu, dikatakan Harli, tim penyidik Jampidsus, meskipun minim bukti, dan petunjuk tentang kasus-kasus apa saja dalam pengurusan ZR selama ini. Namun pengakuan ZR mengharuskan dia untuk membuktikan sendiri tentang dari mana sumber uang yang ditimbunnya itu.
“Jadi, selain tim penyidik Jampidsus juga terus menggali, dan mendalami bukti-bukti, petunjuk-petunjuk tentang temuan uang dan emas-emas itu, dari pihak tersangka (ZR) yang juga nantinya yang akan membuktikan uang tersebut sumbernya berasal dari mana,” kata Harli melanjutkan.
ZR adalah mantan pejabat tinggi MA yang ditangkap tim penyidik Jampidsus di Jimbaran, Bali, Kamis (24/10/2024). Ada tiga persoalan hukum yang menjeratnya saat ini. Kasus pertama terkait skandal suap-gratifikasi dalam vonis bebas Gregorius Ronald Tannur oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jawa Timur (Jatim).
Penangkapan ZR sebetulnya pengembangan pengusutan korupsi suap-gratifikasi terkait vonis bebas perkara pembunuhan Dini Sera Afriyanti yang digelar di PN Surabaya. Dari pengusutan kasus tersebut, penyidik Jampidsus, Rabu (23/10/2024) menangkap tiga hakim yang memvonis bebas Ronald Tannur.
Mereka adalah, Erintuah Damanik (ED), Mangapul (M), dan Heru Hanindyo (HH). Pengacara Ronald Tannur, yakni Lisa Rahmat (LR) juga ditangkap dalam kasus tersebut. Belakangan, Senin (4/11/2024), penyidik Jampidsus juga menetapkan Meirizka Widjaja (MW) yang merupakan ibu kandung Ronald Tannur sebagai tersangka ke-5. Dari pengusutan terhadap tiga hakim dan satu pengacara tersebut, tim penyidik Jampidsus menemukan uang Rp 20,7 miliar dalam berbagai mata uang lokal dan asing yang ditemukan di enam properti milik para tersangka itu.
Diketahui juga, LR memberikan uang Rp 1,5 miliar, dan Rp 2 miliar yang bersumber dari MW untuk diberikan kepada tiga hakim yang membebaskan Ronald Tannur.
Tiga hakim yang membebaskan Ronald Tannur di peradilan tingkat pertama itu, juga hasil dari persekongkolan jahat antara LR, dengan ZR yang memiliki hubungan pertemanan. Bahwa LR, meminta ZR untuk diperkenalkan dengan inisial R, seorang pejabat di PN Surabaya untuk mengatur komposisi majelis hakim yang bisa membebaskan Ronald Tannur.
Masalah hukum selanjutnya yang menjerat ZR, terkait dengan lanjutan proses hukum Ronald Tannur. Bahwa bebasnya Ronald Tannur dari tuntutan 12 tahun penjara atas pembunuhan Dini Sera membuat jaksa mengajukan kasusnya itu ke kasasi di MA.
Terungkap dalam penyidikan, bahwa dalam proses kasasi itu, pun LR memberikan uang Rp 5 miliar kepada ZR. Uang tersebut, LR berikan agar ZR mengatur hasil kasasi di MA untuk menguatkan putusan bebas Ronald Tannur sebelumnya. Rp 5 miliar itu LR titipkan kepada ZR untuk diserahkan kepada S, A, dan S, yaitu para hakim agung pemutus kasasi Ronald Tannur.
Sebagai imbalan LR, memberikan uang Rp 1 miliar kepada ZR. Hasil kasasi Ronald Tannur, dipublis oleh MA pada Rabu (23/10/2024) ketika Jampidsus menangkap tiga hakim PN Surabaya. Kasasi MA berujung pada pembatalan vonis bebas, dengan menghukum Ronald Tannur 5 tahun penjara.
Selanjutnya, dari pengusutan terhadap ZR, tim penyidikan di Jampidsus melakukan penggeledahan di kediamannya di bilangan Senayan, Jakarta Selatan (Jaksel). Dari penggeledahan tersebut, penyidik Jampidsus menemukan barang bukti berupa timbunan uang dalam berbagai mata uang lokal, dan asing yang ditotal mencapai Rp 922 miliar.
Penyidik juga menemukan kepingan-kepingan emas sebanyak 446 buah dengan berat total 51 Kg, yang jika dikonversi mencapai Rp 75 miliar. Temuan tersebut, kini dalam penguasaan sita penyidik Jampidsus sebagai barang bukti tindak pidana. Karena ZR, dalam pengakuannya mengatakan timbunan uang tersebut merupakan hasil dari praktik mafia peradilan dalam pengurusan-pengurusan kasus di MA dan peradilan lainnya sejak 2012.