Kamis 07 Nov 2024 20:25 WIB

Ketika Sastra Berkisah di Buku ‘Kisah Menulis Storytelling Secara Kesastraan’

Menstimulasi rasa melalui jurnalisme sastrawi

Kisah Menulis Storytelling secara Kesastraan (Perspektif Literary Journalism)
Foto: Istimewa
Kisah Menulis Storytelling secara Kesastraan (Perspektif Literary Journalism)

REPUBLIKA.CO.ID, Rasanya berkisah lebih nyaman dinikmati oleh pendengar atau pembaca, ketimbang menyuguhkan laporan tegas nan jelas. Dengan berkisah kita akan menemukan warna rasa yang membalut logika. Perkawinan antara dimensi rasa dan logika akan membentuk narasi yang mengalir pada frekuensi rasa si pembaca.

photo
Prof. Dr. Septiawan Santana Kurnia M.Si, penulis buku Kisah Menulis Storytelling secara Kesastraan (Perspektif Literary Journalism) - (Istimewa)

Jurnalisme sastrawi menjadi model tersendiri yang tidak bisa diintervensi oleh kebiasaan pragmatis dan instan. Dia (jurnalisme sastrawi) seolah mengingatkan kita sebagai bangsa timur yang leluhurnya beridentik kelembutan dan rasa asih. Mengapa fakta komunikasi di media saat ini seolah melupakan budaya asih itu.

Atas harapan itu, maka narasi kesastraan menjadi sangat penting bagi media sebagai pabrik narasi. Ketika kini para pekerja media banyak dikelola content creators, kesastraan harus disadari sebagai sarana. Sarana membuat storytelling kian memikat. Kesastraan mendorong penulis untuk memahami tentang teknik cara pengisahan.

Buku yang ditulis oleh Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Islam Bandung (Unisba) Prof. Dr. Septiawan Santana Kurnia, rasanya menjadi vitamin yang perlu dikonsumsi bagi mereka yang gemar mengonsumsi kisah dan berkisah melalui narasi.   

Buku terbitan tahun ini (2024) berjudul Kisah Menulis Storytelling secara Kesastraan (Perspektif Literary Journalism). Buku itu dilengkapi dengan kutipan dari berbagai tokoh, termasuk contoh, serta penulisan storytelling yang bersifat kesastraan.

Misalnya penulis novel Robinson Crusoe (1719) Daniel Defoe. Ia disebut-sebut menyajikan realitas sastrawi ketika melaporkan bencana wabah, pada abad ke-18, dalam ‘A Journal of the Plague Year’ (1722). Begitupun Penulis Ernest Hemingway dikutip ketika menulis ‘Six Men Become Tankers’ (Kansas City Star, 6 April 1918), yang melaporkan para prajurit di Perang Dunia Pertama.

Ada pula Penulis Truman Capote, dalam In Cold Blood (1966) yang memakai teknik  storytelling ‘sudut pandang orang ketiga’, dari dua mantan narapidana yang setelah membantai satu keluarga, lalu melakukan perjalanan tanpa tujuan. Penulis Gabriel Garcia Marquez juga dijadikan contoh, bagaimana menyajikan gaya ‘human interest’ (feature), di sebuah laporan berita tentang seorang nelayan yang selamat dari kapalnya yang terguling di laut lepas. Berbagai sastrawan lainnya, dengan contoh karyanya, ada di buku terbitan Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Selain dari tokoh-tokoh Nobel sastra, buku ini juga menampilkan tokoh dan gaya kesastraan di Indonesia. Bagaimana misalnya teks Syair Lampung Karam (1883) yang dibuat Muhammad Saleh, mengisahkan peristiwa letusan Gunung Krakatau, dalam bentuk syair yang panjang sebagai sebuah genre sastra Melayu: mencatatkan kembali apa yang didengar dari berbagai penduduk.

Bagaimana Adinegoro dalam Melawat ke Barat, pada 1920-an mengisahkan perjalanannya (traveling) secara otentik menemukan artifak-artifak sejarah kolonial. Bagaimana teknik menulis kesastraan dipakai pada masa Orde Baru, dengan storytelling yang unik, sebagai alat perlawanan dengan cara estetika sastra, melalui teknik penyajian puitik dan kesastraan lainnya di dalam berbagai esai dan kolom juga berita media.

Pada buku ini juga dipaparkan berbagai teknik menulis storytelling yang bersumber dari elemen karakteristik kesastraan, seperti teknik menulis dengan ‘Objektifitas yang Berbeda, Human Interest yang Berbeda, Interpretif: Subjektif, atau Immersion’. Teknik storytelling kesastraan membawa penulis jadi berbeda dalam mengkonstruksi penyajiannya, khususnya dalam pendekatan pencarian data dan fakta (peliputan), dalam membawakan ‘voice’ pengisahannya, dan dalam membuat struktur naratifnya.

Pada sisi lain, buku ini juga memberi tahu cara menulis berdasarkan Empat Alat literary Journalism, yang dikemukakan Tom Wolfe, yaitu pengkonstruksian adegan, merekam dialog secara realistik, memakai sudut pandang orang ketiga, dan merekam berbagai detil (keterangan) yang terbawa di dalam kehidupan subjek tulisan.

Semua tentang dunia penulisan storytelling yang bersifat kesastraan ada di buku ini, khususnya di dunia jurnalisme dan dunia media massa. Semua itu disajikan penulis untuk mengantarkan kita memahami teknik menulis secara manis, hangat, dan segar.

Melalui buku ini, penulis ingin mengajak bangsa ini untuk lebih kreatif dan deskriptif dalam menulis, khususnya bagi para jurnalis, sastrawan, mahasiswa, pelajar, pengajar, akademisi, dan profesi lainnya. Tujuan tidak lain, agar karya tulisan dan pesan yang disampaikannya mampu menarik minat pembaca, meningkatkan pemahaman, menciptakan koneksi emosional, berestetika, serta pesan mudah dan renyah dipahami.

Buku dengan harga di bawah Rp 170 ribuan itu dapat dibeli di berbagai toko buku dan marketplace. Silahkan membacanya, dan rasakan energi narasinya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement