REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV — Salah satu aspek paling brutal dari agresi Israel di Jalur Gaza adalah kehancuran yang ditimbulkan pada sektor kesehatan di wilayah tersebut. Selama 13 bulan terakhir, militer Israel telah mengepung dan menggerebek setidaknya 10 rumah sakit, dengan mengatakan bahwa serangan tersebut merupakan kebutuhan militer karena Hamas menggunakan fasilitas tersebut sebagai basis komando dan kendali.
Associated Press (AP) menemukan bahwa Israel hanya memberikan sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali bukti mengenai kehadiran Hamas di rumah sakit-rumah sakit itu. Hal ini disimpulkan dari investigasi di tiga rumah sakit di Gaza utara yang diserang tahun lalu. Diantaranya Rumah Sakit al-Awda, Rumah Sakit Indonesia dan Rumah Sakit Kamal Adwan.
AP mencapai kesimpulan itu setelah mewawancarai lebih dari tiga lusin pasien, saksi dan pekerja medis dan kemanusiaan serta pejabat Israel. AP menyerahkan dokumen berisi daftar insiden yang dilaporkan oleh orang-orang yang diwawancarainya ke kantor juru bicara militer Israel. Kantor tersebut mengatakan tidak dapat mengomentari peristiwa tertentu. Ketiga rumah sakit tersebut diserang atau digerebek lagi dalam beberapa pekan terakhir.
Saat ini tidak ada rumah sakit yang berfungsi penuh di seluruh Gaza – hanya 16 dari 39 rumah sakit yang beroperasi sebagian, menurut Organisasi Kesehatan Dunia, sebagian besar hanya menawarkan pertolongan pertama. Serangan Israel di dalam dan sekitar fasilitas kesehatan telah menewaskan 765 warga Palestina dan melukai 990 lainnya, kata WHO. Jumlah tersebut belum termasuk pasien yang menurut dokter meninggal karena kekurangan pengobatan atau oksigen selama pengepungan Israel, yang jumlahnya tidak diketahui.
RS Al-Adwa, Jabalia, Gaza Utara
Di RS Al-Adwa, militer Israel bahkan tidak pernah mengklaim kehadiran Hamas. Ketika ditanya intelijen apa yang menyebabkan pasukan mengepung dan menggerebek rumah sakit tersebut tahun lalu, kantor juru bicara militer tidak menjawab.
Saat pertempuran berkecamuk di sekitar rumah sakit, sebuah bom meledak di ruang operasinya pada 21 November, menewaskan tiga dokter dan seorang kerabat pasien, menurut badan amal internasional Doctors Without Borders. Setelah pasukan mengepung fasilitas tersebut, staf mengatakan mendekati rumah sakit bisa berakibat fatal karena tembakan penembak jitu Israel.
Tiga pengelola rumah sakit mengatakan dua wanita hamil yang berjalan menuju fasilitas tersebut untuk melahirkan ditembak pada 12 Desember dan meninggal dunia karena kehabisan darah di jalan. Petugas medis diberitahu untuk mengevakuasi tubuh mereka nanti.
Mohammed Salha, seorang administrator yang saat itu menjabat sebagai penjabat direktur rumah sakit, mengatakan bahwa keesokan harinya dia menyaksikan tembakan membunuh sepupunya dan putranya yang berusia 6 tahun saat dia membawa anak laki-laki tersebut untuk perawatan luka. Wanita hamil lainnya, Shaza al-Shuraim, menceritakan berjalan ke rumah sakit saat melahirkan, ditemani ibu mertuanya dan saudara iparnya. Bahkan saat mereka mengibarkan bendera putih, ledakan tembakan menewaskan ibu mertuanya.
Direktur rumah sakit, Ahmed Muhanna, ditangkap oleh pasukan Israel setelah mereka menyerbu fasilitas tersebut. Keberadaannya masih belum diketahui. Salah satu dokter terkemuka di Gaza, ahli ortopedi Adnan al-Bursh, juga ditahan dalam penggerebekan tersebut dan meninggal dalam tahanan Israel pada bulan Mei.
RS Indonesia, Kota Gaza