REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada tahun 1962, dunia sastra Indonesia sempat heboh lantaran tuduhan bahwa sebuah novel ternama adalah hasil plagiat. Karya yang dimaksud adalah Tenggelamnya Kapal van der Wijck karya Buya Hamka (1939). Sebuah artikel yang dimuat pada Bintang Timoer menyuarakan tudingan itu.
Merespons polemik, kritikus sastra HB Jassin menolak tuduhan bahwa Buya Hamka adalah penjiplak. Menurut Jassin, sebagaimana dinukil Rachmat Djoko Pradopo dalam Kritik Sastra Indonesia Modern, definisi plagiat adalah “pengambilan karangan orang lain sebagian atau seluruhnya dan membubuhkan nama sendiri seolah-olah kepunyaannya.”
Kemudian, ada pula konsep lainnya, yakni saduran, yaitu “karangan yang jalan ceritanya dan bahan-bahannya diambil dari suatu karangan lain.” Misalnya, cerita luar negeri yang disesuaikan dengan alam dalam negeri dengan mengubah nama-nama daerah dan suasananya. Teks saduran tetap harus disebutkan nama pengarang aslinya.
Di samping plagiat dan saduran, ada juga konsep “mempengaruh-dipengaruhi.” Sebuah teks sastra hasil karya seorang sastrawan tidak mustahil dipengaruhi filsafat atau pikiran pengarang lainnya, baik secara sengaja maupun tidak.
Menurut Jassin, roman karya Hamka itu bukanlah sebuah plagiat atau jiplakan. Hamka pun diketahui tidak menerjemahkan dan membubuhkan nama sendiri dalam terjemahan, melainkan ia menciptakan karya dengan “seluruh kepribadiannya.”
Dalam dunia sastra pula, sudah lama dikenal tradisi yang di dalamnya pengarang melakukan transformasi atas karya-karya yang lahir sebelumnya di dalam karyanya sendiri dengan wujud baru. Tindakan itu bukanlah jiplakan karena ide dan konsepnya berasal dari si pengarang sendiri.
Karya-karya yang muncul lebih dahulu daripada kepunyaannya hanya sebagai “bahan” atau inspirasi tulisannya. Dalam kajian sastra, yang disebut “bahan” itu diistilahkan sebagai hipogram.
Karena itu, Pradopo menyimpulkan, Hamka telah membuat transformasi dari karya al-Manfaluti yang merupakan hipogram-nya, dengan memasukkan pikiran-pikiran keislaman di dalamnya.
Hamka juga mengubah jalan ceritanya dengan penambahan-penambahan. Sehingga, semuanya disesuaikan dengan situasi Indonesia dan Minangkabau khususnya, untuk menampilkan masalah yang relevan, yakni soal adat kawin paksa. Dalam karyanya pula, pengarang Minangkabau ini memasukkan kritik atau pikiran-pikirannya sendiri yang selaras dengan ajaran lslam.