Kamis 10 Oct 2024 14:59 WIB

Koridor Philadelphia: Wajah Dilematis Mesir di Krisis Gaza

Pemerintah Mesir dinilai ikut memperparah penderitaan warga Jalur Gaza.

Rep: mgrol 154/ Red: Hasanul Rizqa
Koridor Philadelphia
Foto: dok jcpa
Koridor Philadelphia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu ciri kolonialisme adalah kendali yang dilakukan suatu entitas kuat atas negara lain yang lebih lemah. Di Palestina, karakteristik itu tampak amat jelas--antara lain--pada Koridor Philadelphia (Philadelphi Corridor).

Ini adalah sebutan untuk jalur sempit sepanjang 14 kilometer yang memisahkan Jalur Gaza (Palestina) dari Mesir. Koridor Philadelphia juga mencakup Pos Perbatasan Rafah, yang secara de jure diurus secara bersama oleh pemerintah Mesir dan Otoritas Nasional Palestina (Palestinian Authority), yang saat ini dipimpin Mahmoud Abbas dari Fatah.

Baca Juga

Pembentukan Koridor Philadelphia muncul usai Perang Yom Kippur 1973. Ujung dari pertempuran itu masih menjadi perdebatan kalangan sejarawan maupun politikus. Dari sisi Mesir, tentunya ada anggapan bahwa Kairo-lah yang memenangkan palagan ini. Sebaliknya, Tel Aviv menganggap Israel keluar sebagai pemenang. Umumnya ahli sejarah memandang perang tersebut berujung "seri", terutama dengan munculnya kesepakatan di antara kedua belah pihak.

Salah satu hasil perundingan antara Kairo dan Tel Aviv dalam konteks itu adalah Perjanjian Camp David pada 1979. Kedua belah pihak menyepakati adanya zona penyangga (buffer zone) yang di dalamnya segala kegiatan militer yang memperhadapkan (vis-a-vis) masing-masing kubu dilarang.

Mesir membentuk Pasukan Penjaga Perbatasan Mesir (Border Guard Force/BGF) yang terdiri atas 750 personel darat. Mereka dibagi antara markas besar dan empat kompi yang ditempatkan di sepanjang rute Koridor Philadelphia untuk berpatroli di perbatasan di sisi Mesir.

Perjanjian Camp David tersebut juga menetapkan, BGF adalah "pasukan yang ditunjuk untuk memerangi terorisme dan infiltrasi melintasi perbatasan." Tidak ada tujuan selain itu.

Koridor Philadelphia dilengkapi tembok-tembok beton tinggi dan pagar dengan kawat berduri. Tujuannya mengantisipasi masuknya arus senjata ke tangan orang-orang Palestina (baca: para pejuang Hamas) di Jalur Gaza. Sistem keamanan yang begitu ketat juga diterapkan demi menghalangi pergerakan penduduk dari dan menuju Mesir.

Alhasil, koridor itu memastikan bahwa mobilisasi orang-orang yang hendak menuju dan berasal dari Jalur Gaza hanya melalui Pos Perbatasan Rafah, yang dibuka sejak 25 November 2005.

Keberadaan Koridor Philadelphia berdampak signifikan bagi rakyat Gaza, terutama yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka. Keadaan semakin sulit terutama sejak Faksi Hamas berhasil merebut Jalur Gaza dari kontrol Fatah pada 2007.

Sejak itu, militer Israel memperketat blokade darat, udara, dan laut sehingga membatasi total arus barang-barang yang bisa masuk dan keluar dari Jalur Gaza.

Keadaan ini memaksa para pejuang Hamas untuk membuat ratusan terowongan bawah tanah untuk menembus blokade Koridor Philadelphia. Dari sanalah, mereka tetap mendapatkan akses logistik dari Mesir.

Terowongan-terowongan ini memberikan nafas geliat perekonomian Jalur Gaza. Sebaliknya, Israel dan negara-negara sekutu Barat mengkhawatirkan keberadaan terowongan-terowongan ini, yang dianggapnya menjadi jalur penyelundupan senjata.

Dalam beberapa tahun sejak 2007 hingga kini, militer Israel secara berkala melancarkan operasi untuk menghancurkan terowongan-terowongan ini.

Di luar konteks Hamas-Israel, Koridor Philadelphia telah mempengaruhi dinamika politik dan keamanan di Timur Tengah. Mesir, sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Jalur Gaza, menghadapi dilema yang rumit.

Di satu sisi, Kairo mendukung blokade untuk mencegah penyelundupan senjata dari dan menuju Hamas. Sebab, milisi anti-zionis itu dikhawatirkan dapat membuat kekacauan di Sinai, wilayah Mesir barat yang kerap menjadi tempat kelompok-kelompok militan beroperasi.

Namun, di sisi lain, Kairo sering mendapatkan kritik dari sesama negara-negara Arab dan dunia internasional. Sebab, Mesir dinilai ikut memperparah penderitaan warga Jalur Gaza melalui penutupan atau pengetatan perbatasannya di Rafah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement